Showing posts with label opini. Show all posts
Showing posts with label opini. Show all posts

Jam Karet dan Penanaman Budaya Kerja Kementerian Keuangan


Di penghujung rapat, terdengar obrolan antara Pemimpin Rapat dengan salah satu peserta rapat.

“Untuk menindaklanjuti hasil rapat ini, segera dibuat undangan rapat minggu depan ya” ujar Pemimpin Rapat.

“Rapat nanti diadakan jam berapa pak?” tanya peserta rapat.

Kemudian Pemimpin Rapat menyampaikan agar rapat diadakan mulai pukul 09.00.

“Baik pak, kalau begitu di undangan kami tulis rapat dimulai pukul 08.00” pungkas peserta rapat.

“Kenapa begitu?” tanya Pemimpin Rapat keheranan.

Dengan santai peserta rapat tersebut berujar : “sudah menjadi kebiasaan orang sini pak”.

Jam Karet 

Potongan pembicaraan di atas menunjukkan bahwa betapa tindakan abai terhadap waktu dianggap wajar dan sepertinya sudah mendarah daging pada sebagian besar warga Saumlaki dan Kepulauan Tanimbar pada umumnya. Kebiasaan tersebut tidak hanya terjadi pada acara formal kedinasan, untuk acara seperti resepsi pernikahan dan pesta lainnya kejadian tersebut sangat sering dijumpai. Sebagai contoh, jadwal resepsi pernikahan pada undangan tertulis mulai pukul 19.00 dan jangan kaget apabila resepsi baru dimulai pukul 20.00 bahkan bisa jadi dimulai pukul 21.00.

Pemakluman atas keterlambatan tersebut sering dinamakan dengan istilah jam karet. Merujuk kamus besar bahasa Indonesia, jam karet memiliki arti : waktu tidak tepat, terlambat dari waktu yang telah ditentukan (dalam rapat, pertemuan, dan sebagainya). Karena sudah menjadi kebiasaan, jam karet dapat pula diartikan diterimanya konsep “elastisitas waktu” yaitu waktu yang telah ditentukan bukan merupakan sesuatu yang pasti. Waktu tersebut dapat dimundurkan sesuai keinginan (dianalogikan seperti karet yang dapat direnggangkan) yang menandakan kepastian waktu berkisar pada masa waktu yang telah ditentukan tersebut.

Suatu kebiasaan apabila terjadi terus menerus dan dibiarkan maka akan naik pangkat menjadi budaya bagi diri seseorang atau kelompok. Kebiasaan mengulur-ulur waktu dan tidak menghormati waktu tentunya tidak baik, bahkan dapat menimbulkan dampak buruk bagi orang lain ataupun kepada komunitas tertentu. Di era persaingan bebas saat ini, kebiasaan jam karet akan menghalangi produktivitas kerja (kontra produktif). Hal tersebut tentunya akan sangat merugikan diri sendiri dan menjadikannya tertinggal dari orang atau pihak lain.

Kenapa Jam Karet menjadi Kebiasaan? 

Fenomena jam karet yang sudah membudaya tentunya menjadi semakin subur karena pengaruh-pengaruh tertentu. Diramu dari berbagai sumber, dan berdasarkan pengamatan di lingkungan masyarakat sekitar, jam karet setidaknya dipengaruhi oleh dua faktor sebagai berikut :

Pertama, Perilaku Pemimpin Masyarakat. Di berbagai daerah, ditemui kebiasaan seorang Pemimpin atau Pemuka Adat yang hadir pada suatu acara setelah masyarakatnya atau bawahannya sudah hadir dan lengkap. Kebiasaan tersebut meskipun dapat menaikkan derajat atau wibawa pemimpin, tetapi secara tidak sadar akan menyuburkan praktek jam karet. Mengapa dapat menyuburkan? Karena setiap masyarakat dan bawahan yang terlambat tersebut tidak merasa bersalah karena pada akhirnya mereka selalu hadir lebih awal dibanding pemimpin atau pemuka adat mereka.

Kedua, Anggapan bahwa jam karet adalah budaya. Karena praktek jam karet sudah dianggap budaya, maka semua pihak akan memaklumi jam karet. Adanya anggapan tersebut semakin menyuburkan kebiasaan jam karet. Seseorang yang sebelumnya terbiasa menghargai waktu, ketika menjumpai atau melakukan kegiatan dengan orang atau kelompok jam karet, tentu akan terpengaruh dan turut melakukan budaya tersebut.

Nilai dan Budaya Kerja Kementerian Keuangan 

Kementerian Keuangan sebagai pionir reformasi birokrasi di Indonesia memiliki nilai-nilai dan budaya kerja yang secara masif ditanamkan pada pegawainya. Adapun nilai-nilai yang dianut oleh Kementerian Keuangan adalah Integritas, Profesionalisme, Sinergi, Pelayanan, dan Kesempurnaan. Integritas memiliki makna bahwa setiap pegawai Kementerian Keuangan merupakan pribadi yang berpikir, berkata, berperilaku dan bertindak dengan baik dan benar serta memegang teguh kode etik dan prinsip-prinsip moral.

Nilai Profesional memiliki makna bahwa setiap pegawai Kementerian Keuangan adalah mereka yang bekerja tuntas dan akurat atas dasar kompetensi terbaik dengan penuh tanggung jawab dan komitmen yang tinggi. Sedangkan nilai Integritas memiliki makna bahwa setiap pegawai Kementerian Keuangan dalalam bekerja senantiasa membangun dan memastikan hubungan kerjasama internal yang produktif serta kemitraan yang harmonis dengan para pemangku kepentingan, untuk menghasilkan karya yang bermanfaat dan berkualitas.

Nilai selanjutnya adalah Pelayanan, memiliki makna bahwa setiap pegawai Kementerian Keuangan senantiasa Memberikan layanan yang memenuhi kepuasan pemangku kepentingan yang dilakukan dengan sepenuh hati, transparan, cepat, akurat dan aman. Terakhir, nilai yang dianut adalah Kesempurnaan yang memiliki makna bahwa setiap pegawai Kementerian Keuangan senantiasa melakukan upaya perbaikan di segala bidang untuk menjadi dan memberikan yang terbaik.

Penerapan nilai-nilai tersebut selanjutnya melahirkan budaya kerja organisasi di Kementerian Keuangan. Budaya Kerja tersebut meliputi Satu Informasi Setiap Hari; Dua Menit Sebelum Jadwal; Tiga Salam Setiap Hari; Rencanakan, Kerjakan, Monitor dan Tindaklanjuti; dan Ringkas, Rapi, Resik, Rawat, Rajin. Budaya Satu Informasi Setiap Hari mendorong seluruh Pegawai untuk mencari informasi yang positif dan membaginya (sharing) dengan Pegawai Kementerian Keuangan lainnya untuk pengetahuan bersama. Budaya Dua Menit Sebelum Jadwal dapat melatih, membiasakan dan menumbuhkan kedisiplinan seluruh Pegawai Kementerian Keuangan dengan hadir di ruang/tempat rapat 2 (dua) menit sebelum rapat di mulai sesuai jadwal, guna meningkatkan efektifitas dan efisiensi rapat.

Budaya Tiga Salam Setiap Hari dapat mendorong seluruh Pegawai Kementerian Keuangan terbiasa memberikan pelayanan terbaik dan bersikap sopan serta santun, dengan memberikan salam sesuai dengan waktunya, yaitu selamat pagi, selamat siang dan selamat sore.

Sedangkan dengan budaya Rencanakan, Kerjakan, Monitor dan Tindaklanjuti maka seluruh Pegawai Kementerian Keuangan dalam melaksanakan tugas sehari-hari menerapkan etos kerja dan prinsip manajemen/organisasi yang baik, dengan senantiasa membuat perencanaan terlebih dahulu, mengerjakan hingga tuntas, memantau dan mengevaluasi proses dan hasil terhadap sasaran dan spesifikasi dan melaporkan hasilnya, dan menindaklanjuti hasil untuk membuat perbaikan.

Sementara itu budaya Ringkas, Rapi, Resik, Rawat, Rajin mendorong tumbuhnya kesadaran, keyakinan, dan kepedulian Pegawai Kementerian Keuangan akan pentingnya penataan ruang kantor dan dokumen kerja yang ringkas, rapi, resik/bersih melalui perawatan yang dilakukan secara rutin, agar tercipta lingkungan kerja yang nyaman guna meningkatkan etos kerja dan semangat berkarya.

Penanaman Nilai-Nilai dan Budaya Kerja Kementerian Keuangan 

Kebiasaan jam karet pada masyarakat sangat erat kaitannya dengan kedisiplinan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Mereka yang memiliki tingkat disiplin yang tinggi tentu tidak akan menerapkan kebiasaan jam karet pada setiap aktivitasnya. Hal tersebut disebabkan perilaku jam karet merupakan musuh dari perilaku disiplin. Apabila merujuk pada budaya kerja yang berlaku di Kementerian Keuangan, maka kebiasaan jam karet dapat dikurangi bahkan dihilangkan dengan pengamalan budaya Dua Menit Sebelum Jadwal.

Pegawai Kementerian Keuangan khususnya Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Saumlaki memiliki peran yang sangat besar untuk mengurangi bahkan menghilangkan kebiasaan jam karet di Saumlaki dan Kepulauan Tanimbar.

Peran tersebut setidaknya dapat diimplementasikan pada kegiatan-kegiatan yang melibatkan stakeholder dari Pemerintah Daerah maupun masyarakat. Pegawai KPPN Saumlaki dapat menanamkan budaya kerja Kementerian Keuangan untuk mendorong masyarakat untuk lebih disiplin dengan :

1. Memberi contoh untuk hadir tepat waktu
Di setiap acara yang diadakan oleh KPPN Saumlaki, Pegawai KPPN Saumlaki datang dua menit sebelum jadwal yang telah ditentukan. Begitu pula ketika menghadiri undangan kegiatan dari stakeholder, pejabat/pegawai KPPN Saumlaki juga selalu hadir dua menit sebelum jadwal yang ditentukan. Kehadiran tepat waktu tersebut akan memberikan dampak positif yang akan selalu diingat oleh pihak lain.

2. Menanamkan budaya dua menit sebelum jadwal
Pada setiap kegiatan, pegawai KPPN Saumlaki selalu menceritakan budaya kerja yang ada di Kementerian Keuangan. Penekanan diberikan pada budaya kerja hadir dua menit sebelum jadwal yang ditentukan. Cerita yang berulang akan membekas pada setiap audience sehingga diharapkan akan mengubah perilaku disiplin mereka.

Meningkatnya disiplin masyarakat dan pegawai di Kepulauan Tanimbar diyakini akan turut meningkatkan produktivitas dan efektivitas kerja. Peningkatan tersebut pada akhirnya akan memperkuat posisi Kepulauan Tanimbar di kancah persaingan regional bahkan global.

Oleh : Puji Linggaswara, Kepala Seksi Verifikasi, Akuntansi dan Kepatuhan Internal KPPN Saumlaki, Tanimbar, Maluku

Disclaimer :Tulisan ini merupakan opini pribadi dan tidak mewakili pandangan organisasi
Share This:    Facebook  Twitter

Bau Tim Mawar di Rusuh 21-22 Mei, Jalan Thamrin

Bekas anak buah Prabowo Subianto, Fauka Noor Farid, ditengarai berada di belakang unjuk rasa yang berakhir rusuh pada 21-22 Mei lalu. Melalui anak buahnya, Fauka dituding mengerahkan massa pada hari itu. Tempo menelusuri dugaan keterlibatan mantan anggota Kopassus tersebut.

Dahlia Zein baru selesai melahap makanannya di sebuah restoran Padang di perempatan Jalan Sabang, Menteng, Jakarta Pusat, saat telepon selulernya berdering, Rabu malam, 22 Mei lalu. Ketua Umum Baladhika Indonesia Jaya, organisasi pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno, tersebut mendapat laporan dari anak buahnya soal kisruh dalam unjuk rasa di sekitar gedung Badan Pengawas Pemilihan Umum di Jalan M.H. Thamrin, yang berjarak sekitar 300 meter dari posisi Dahlia.

“Saya bilang, ‘Ya udah, benturin aja. Chaos-in aja sekalian,’” ujar Dahlia kepada Tempo di sebuah kafe di pusat belanja Cilandak Town Square, Sabtu, 1 Juni lalu.

Dahlia mengaku kesal karena polisi menyuruh pengunjuk rasa pulang setelah mereka berbuka puasa. Menurut dia, sejumlah anggota Baladhika dari berbagai daerah ikut berunjuk rasa mempersoalkan dugaan kecurangan dalam pemilu presiden. Membantah mengerahkan massa pengunjuk rasa ke Bawaslu, Dahlia mengatakan anak buahnya datang atas inisiatif sendiri.

Tak lama setelah percakapan itu, kericuhan terjadi di Jalan Wahid Hasyim, seberang gedung Bawaslu.

“Setelah makan, saya melihat sendiri polisi membubarkan pakai gas air mata,” kata Dahlia.

Tempo, yang berada di antara massa pengunjuk rasa, menyaksikan mereka membalas tembakan gas air mata dengan melemparkan batu dan petasan ke arah polisi. Malam sebelumnya, setelah polisi memukul mundur massa di depan gedung Bawaslu ke kawasan Tanah Abang, kericuhan juga terjadi dan merembet ke arah Petamburan, Jakarta Pusat. Seusai huru-hara, diketahui bahwa 8 orang tewas dan 700-an jiwa luka-luka.

Tempo membaca transkrip pembicaraan yang diduga antara Dahlia dan Ketua Bidang Pendayagunaan Aparatur Partai Gerakan Indonesia Raya Fauka Noor Farid melalui ponsel saat kerusuhan 22 Mei lalu. Fauka adalah anak buah Prabowo di Komando Pasukan Khusus. Ia anggota Tim Mawar yang terlibat penculikan aktivis pada 1998 dan divonis 16 bulan penjara. Fauka pensiun dini dengan pangkat letnan kolonel, lalu membantu pemenangan Prabowo pada pemilihan presiden 2014 dan 2019.

Dalam transkrip yang diperlihatkan polisi itu disebutkan bahwa Dahlia melaporkan kericuhan yang terjadi antara pengunjuk rasa dan polisi. Tertulis juga di situ bahwa Fauka menyatakan berada di sekitar gedung Bawaslu. Menurut transkrip tersebut, Fauka menyatakan bagus jika terjadi chaos, apalagi jika ada korban jiwa. Masih menurut transkrip yang sama, Fauka disebut meminta Dahlia mencarikan kamar untuknya di kawasan Cikini. Dua petinggi badan intelijen dan tiga penegak hukum yang ditemui Tempo membenarkan isi transkrip tersebut. Dua hamba wet menyatakan keberadaan Fauka di kawasan Sarinah, persis di seberang gedung Bawaslu.

Dahlia mengakui nomor telepon 0816-17XX-XXXX yang tertulis dalam transkrip tersebut sebagai miliknya. Nomor telepon Fauka juga sama dengan yang tertulis di situ. Tapi Dahlia dan Fauka membantah isi percakapan tersebut. Keduanya juga menyatakan tak saling berkomunikasi selama unjuk rasa.

Meski mengaku memerintahkan anak buahnya melawan, Dahlia mengatakan tak ingin ada korban jiwa dalam demonstrasi tersebut. Menurut dia, polisi seharusnya tidak membubarkan pengunjuk rasa yang baru selesai berbuka puasa. Dahlia membenarkan memesan kamar hotel di kawasan Cikini dan Tanah Abang.

“Bukan untuk Fauka, tapi buat anak buah saya yang datang dari daerah,” ujar Dahlia, yang mengaku dekat dengan Prabowo dan menjadi salah satu pengacara mantan Komandan Jenderal Kopassus tersebut.

Adapun Fauka membantah berada di dekat gedung Bawaslu saat unjuk rasa 22 Mei lalu. Menolak menyebutkan posisinya saat kericuhan terjadi, lulusan Akademi Militer tahun 1992 itu mengaku sedang berjumpa dengan teman satu angkatannya yang bertugas di Pasukan Pengamanan Presiden.

“Saya jauh dari Bawaslu,” katanya melalui telepon, Sabtu, 1 Juni lalu.

Ia juga membantah jika disebut menginginkan ada korban jiwa dalam demonstrasi itu.

“Instruksi dari Pak Prabowo jelas: unjuk rasa harus damai dan tak boleh anarkistis.”

Komandan Pasukan Pengamanan Presiden, Mayor Jenderal Maruli Simanjuntak, yang satu angkatan dengan Fauka di Akademi Militer, mengatakan sejak siang dia bersama Presiden Joko Widodo.

“Tidak ada lagi teman satu angkatan saya di Paspampres,” ujar Maruli.

• • •

Dugaan keterlibatan orang di sekitar Prabowo Subianto dalam unjuk rasa bukannya tak dicium pemerintah. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko dalam wawancara khusus dengan Tempo pada Jumat, 17 Mei lalu, mengatakan pemerintah sudah mendeteksi adanya gerakan tersebut.

“Banyak orang mengkhawatirkan lingkungan Pak Prabowo. Lebih mengkhawatirkan lagi kalau orang-orang di lingkungannya bergerak tanpa setahu beliau,” ujar mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia tersebut.

Sehari sebelum kericuhan, polisi menahan mantan Komandan Jenderal Kopassus, Soenarko. Awalnya dilaporkan karena dugaan makar, Soenarko menjadi tersangka kasus kepemilikan senjata ilegal. Akhir Mei lalu, polisi juga menahan Kivlan Zen karena kasus makar. Kivlan, mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat, dituding mendanai rencana pembunuhan empat pejabat negara. Soenarko dan Kivlan diketahui sebagai pendukung Prabowo.

Ihwal dugaan keterlibatan Fauka, dua sumber di Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi bercerita bahwa ia ikut merancang demonstrasi di Bawaslu beberapa pekan sebelumnya. Menurut keduanya, ada sejumlah pertemuan membahas rencana aksi massa tersebut, antara lain di kantor BPN di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan. Pertemuan itu juga dihadiri sejumlah tokoh loyalis Prabowo, petinggi Partai Gerindra, dan beberapa ulama dari berbagai daerah.

Menurut sumber yang sama, rapat perencanaan serupa diselenggarakan di sebuah hotel di sekitar Masjid Cut Meutia, Menteng, Jakarta Pusat. Pertemuan tertutup yang juga dihadiri oleh Fauka itu diikuti sejumlah pemuka agama dari Jawa Timur. Dalam rapat yang berlangsung sejak pukul delapan malam hingga dinihari, peserta rapat tak boleh membawa ponsel. Fauka membantah ikut merencanakan unjuk rasa.

“Tidak ada pertemuan itu,” ucapnya.

Penelusuran Tempo menemukan bahwa sejumlah personel Garda Prabowo, organisasi yang didirikan dan dipimpin Fauka, terlibat dalam demonstrasi tersebut. Salah satunya Abdul Gani Ngabalin, yang memiliki beberapa nama alias, seperti Mamat, Kobra Hercules, dan Kobra 08--angka ini merujuk pada panggilan Prabowo saat berdinas di TNI. Abdul Gani adalah bekas anak buah Rozario Marshal alias Hercules, preman Tanah Abang. Gani kini ditahan di Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya karena diduga terlibat dalam kerusuhan di sekitar Bawaslu.

Sejumlah sumber di Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi mengatakan Abdul Gani menjabat Panglima Garda Prabowo. Beberapa hari sebelum unjuk rasa, ia ditengarai diperintahkan Fauka bersiap-siap mengikuti demonstrasi, yang kemudian berujung ricuh. Sebelumnya, setelah pencoblosan 17 April lalu, ia diminta menjaga rumah Prabowo di Jalan Kertanegara. Menjelang 22 Mei, Abdul Gani diduga ikut mengerahkan massa dari berbagai daerah, antara lain Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Maluku. Sebagian diinapkan di daerah sekitar Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur.

Endun, pengunjuk rasa yang beberapa kali mengikuti kegiatan Garda Prabowo di Jalan Kertanegara, menyaksikan Jalan Kertanegara dipenuhi ratusan pengunjuk rasa yang diangkut dengan sejumlah mobil pada 20 Mei lalu. Pria 39 tahun asal Majalengka, Jawa Barat, itu ditahan pada 21 Mei menjelang tengah malam di seberang gedung Bawaslu. Melalui seorang kenalannya, Tempo menemui Endun di Polda Metro Jaya sehari setelah Lebaran. Mandor bangunan yang mengagumi Prabowo itu mengaku tertarik bergabung dalam kegiatan Garda Prabowo karena dijanjikan bakal menjadi petugas pengamanan pasangan nomor urut 02 tersebut jika mereka memenangi pemilu.

Menurut Endun, Garda Prabowo kerap mengadakan pertemuan di sebuah tenda di dekat rumah Prabowo. Suatu kali anak buah Abdul Gani bernama Ripai memperkenalkan bosnya itu di hadapan anggota organisasi sebagai “Panglima Garda Prabowo”.

“Dia yang memimpin dan menggerakkan massa di lapangan,” kata Endun menirukan ucapan Ripai kala itu. Ditunjukkan foto Fauka Noor Farid, Endun mengaku sering melihatnya di Kertanegara. Tapi Endun menyatakan tak pernah melihat Fauka berhubungan langsung dengan personel Garda Prabowo.

Peran Abdul Gani tak hanya sampai di situ. Tempo membaca salinan percakapan di grup WhatsApp “Garda Prabowo” yang beranggotakan sekitar 30 orang. Abdul Gani--dengan nama “Oppocobra08”--tercatat sebagai admin grup tersebut. Salah satu percakapan di grup itu terkait dengan rencana people power atau pengerahan massa “skala lokal dan nasional” dengan melibatkan berbagai komponen, seperti organisasi kemasyarakatan, mahasiswa, dan organisasi buruh, menjelang pengumuman hasil pemilu presiden.

Dalam salinan itu disebutkan, jika Komisi Pemilihan Umum tak menyatakan Prabowo-Sandi sebagai pemenang, massa akan menduduki gedung KPU, Bawaslu, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Istana Negara supaya keputusan berubah. Tapi, jika KPU tak mengubah keputusan tersebut, pengunjuk rasa akan terus menduduki Istana hingga Jokowi lengser.

Abdul Gani kerap mengirimkan pesan berisi soal tudingan kecurangan oleh kubu Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Ia pun kerap membakar semangat anggota grup dengan mengunggah kalimat seperti “hidup mulia atau mati syahid” atau “people power spektakuler”. Ditunjukkan isi percakapan itu, Endun--yang mengaku menjadi anggota grup tersebut-- membenarkannya.

Menurut Endun, personel Garda Prabowo berkumpul pada 21 Mei sore di Bundaran Hotel Indonesia. Di situ, ia berjumpa dengan Ripai dan diperintahkan bergerak ke arah gedung Bawaslu, bergabung dengan pengunjuk rasa lain. Saat itu, demonstrasi berjalan cukup tertib. Endun menyaksikan, sekitar pukul sepuluh malam, massa mulai meninggalkan kawasan Bawaslu.

Namun, tak lama kemudian, massa lain mulai berdatangan. Kericuhan mulai timbul. Endun menyaksikan massa mulai merusak penghalang di depan gedung Bawaslu. Saat itulah, kata Endun, Ripai berteriak, “Lawan polisi! Serang!” Endun mengaku ikut meneriakkan takbir. Setelah itu, ia tak melihat lagi sosok Ripai. Tiba-tiba saja dia menghilang. Sedangkan Endun ditangkap polisi. “Saya hanya korban,” ujar lulusan sekolah menengah pertama ini.

Dimintai tanggapan, Ripai awalnya membantah tergabung dalam grup WhatsApp “Garda Prabowo” dan mengikuti unjuk rasa di Bawaslu. Tak berapa lama, laki-laki asal Ternate, Maluku Utara, itu mene-lepon dan membenarkan ikut berdemonstrasi. Tapi bukan pada 21 Mei seperti disebutkan Endun. “Hari itu saya berjaga di rumah Prabowo. Saya baru ke Bawaslu tanggal 22 Mei,” ucapnya. Ripai menyangkal ikut meneriakkan perlawanan terhadap polisi.

Hari itu Abdul Gani Ngabalin juga ikut berunjuk rasa. Dua jam sebelum azan magrib, pesan pendek beredar ke ponsel sejumlah penggerak massa. Tempo membaca pesan pendek tersebut pada pekan lalu. Isinya soal rencana kerusuhan yang akan dimulai pada pukul 19.15 WIB. Tertulis dalam pesan itu bahwa kerusuhan menunggu perintah dari Garda Prabowo. Tak berbeda jauh dari waktu yang disebutkan dalam pesan pendek itu, kerusuhan pun pecah. Tak lama berselang, Abdul Gani mendapat perintah dari Fauka Noor Farid untuk menghapus seluruh percakapan mereka di WhatsApp.

Malam itu juga polisi menangkap Abdul Gani, yang diduga terlibat kericuhan. Hasil tes urine menunjukkan dia menggunakan narkotik jenis sabu. Tempo mencoba menemui Abdul Gani alias Kobra Hercules yang ditahan di ruang tahanan Polda Metro Jaya. Tapi Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Komisaris Besar Argo Yuwono mengatakan Kobra tak bisa ditemui. “Tidak boleh. Masih dalam pemeriksaan,” ujarnya.

Juru bicara BPN Prabowo-Sandi, Andre Rosiade, mengaku tak mengetahui ihwal rapat perencanaan unjuk rasa. Ia juga tak mengetahui peran Abdul Gani dalam kerusuhan tersebut. Menurut politikus Gerindra ini, Garda Prabowo juga bukan organisasi resmi partainya. “Itu relawan saja,” katanya.

Fauka Noor Farid mengaku mengenal Abdul Gani Ngabalin. Tapi ia membantah memiliki kedekatan dengan pria asal Pulau Kei, Maluku, tersebut. Fauka pun menyangkal memerintahkan Abdul Gani ikut berunjuk rasa atau menghapus isi percakapan mereka. Dia juga menyangkal jika Kobra disebut menjadi panglima, bahkan anggota Garda Prabowo. “Saya kan Ketua Umum Garda Prabowo. Kalau secara resmi mau masuk, kan harus ada surat. (Untuk Abdul Gani) itu tidak ada,” ujarnya.

Anak buah Abdul Gani, Ripai, justru mengatakan bosnya itu dekat dengan Fauka. Ripai menyaksikan, beberapa hari sebelum unjuk rasa berlangsung, di sebuah lapangan di kawasan Cijantung, Fauka memberikan seragam loreng kepada Gani. Seragam resmi Garda Prabowo itu kemudian diberikan Gani kepada Ripai. “Dia Panglima Garda Prabowo,” kata Ripai.

Stefanus Edi Pramono, Raymundus Rikang
Wartawan Tempo
Share This:    Facebook  Twitter

Terkait Kerusuhan Fayit Asmat, Kecam Mengecam Tidak Menyelesaikan Masalah

Terkait Kerusuhan Fayit Asmat, Kecam Mengecam Tidak Menyelesaikan MasalahPada tanggal 27 Mei 2019, kita semua dikagetkan adanya laporan dan informasi bahwa telah terjadi kerusuhan yang mengakibatkan jatuhnya korban karena tertembak oleh aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Menyikapi kejadian tersebut muncul berbagai spekulasi dan komentar dari berbagai pihak, termasuk dari Gereja Katolik, Keuskupan Agats tidak tanggung-tanggung mengeluarkan pernyataan sikap secara resmi dengan NO: 059.020.22.06 pada 01 Juni 2019 yang mengecam intitusi TNI yang telah melakukan penembakan dan mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan luka tembak terhadap warga perusuh, seolah-olah segala kesalahan terjadinya kerusuhan di Fayit, Asmat sepenuhnya ditumpahkan kepada institusi TNI sebagai pelaku kejahatan.

Kecam mengecam bukanlah solusi bijak untuk menyelesaikan suatu persoalan. Setiap orang dari pihak manapun harusnya mampu melihat setiap persoalan secara holistis, atau memandang setiap bagian peristiwa tersebut dalam suatu kesatuan secara menyeluruh.

Hari pertama kejadian kerusuhan di Fayit, saat  Pangdam XVII/Cenderawasih, Mayjen TNI Yoshua Pandit Sembiring menerima laporan atas peristiwa tersebut langsung mengambil langkah cepat dengan mengundang seluruh komponen terkait antara lain Polda Papua, Komnas HAM RI perwakilan Papua/Papua Barat, Pemda Asmat melalui Danrem 174/ATW untuk segera melakukan investigasi langsung ke TKP agar dapat mengungkap peristiwa yang sebenarnya yang terjadi di Fayit Asmat.

Investigasi sudah dilaksanakan dalam keadaan tertib aman dan lancar, dan yang paling penting bahwa invesitigasi tersebut dilaksanakan secara terbuka dan menyeluruh. Hadir dalam kegiatan investigasi tersebut antara lain Bupati Asmat Elissa Kambu, Danrem 174/ATW Brigjen TNI Agus Abdurrauf selaku ketua Tim Investigasi, Ketua Komnas Ham RI perwakilan Papua/Papua Barat Frits Ramday, unsur Polda Papua, Pomdam XVII/Cen, Kumdam XVII/Cen, Kesdam XVII/Cen, Inspektorat Kodam XVII/Cen dan Pendam XVII/ Cen

Mekanisme pelaksanaan investigasi yang dilaksanakan antara lain:

a. Meninjau dan mengecek secara langsung dampak kerusakan;
b. mewawancarai saksi-saksi diantaranya korban pengrusakan dan penjarahan harta benda, pelaku kerusuhan dan oknum anggota TNI pelaku penembakan;
c. Memeriksa barang bukti berupa berbagai macam senjata milik perusuh yang tertinggal di TKP dan;
d. Melaksanakan olah TKP dengan melibatkan pelaku kerusuhan.

Seharusnya hanya pihak-pihak yang berkompeten yang boleh memberikan pernyataan tentang peristiwa Fayit ini, mereka adalah yang terlibat langsung dalam kegiatan investigasi, karena merekalah yang mendapatkan informasi secara lengkap dan holistis.

Tentunya berbeda halnya apabila komentar atau pernyataan disampaikan oleh  pihak-pihak lain yang tidak berkompeten dan tidak mengetahui secara kengkap tentang peristiwa tersebut, termasuk dalam hal ini pihak Gereja Katolik Keuskupan Agats yang pasti tidak mendapatkan keterangan secara lengkap dari berbagai sumber sehingga melahirkan persepsi dan pandangan yang tidak berimbang dan berpotensi mengandung unsur provokatif.

Karena minimnya informasi dan keterangan, maka pihak Gereja Keuskupan Agats telah mengeluarkan pernyataan sikap yang mengandung unsur menghakimi, dengan seolah-olah menumpahkan seluruh dosa dan kesalahan hanya tertuju sepenuhnya kepada institusi TNI, tanpa melihat faktor lain.

Pihak Gereja Keuskupan Agast hanya melihat persoalan pada akhir kejadiannya saja, namun tidak memeriksa dan mempelajari bagaimana proses kejadiannya sejak awal, siapa-siapa saja pelakunya, bagaimana dampak kerusakan, siapa provokator atau pemicunya dan lain-lain faktor pendukung lainnya.

Dalam pernyataan sikap tersebut, pihak Gereja Keuskupan Agats menuding bahwa telah terjadi pelanggaran HAM di Fayit Asmat yang dilakukan oleh TNI.

Menyatakan suatu peristiwa mengandung unsur pelanggaran HAM atau tidak, sama sekali bukanlah rana dan kewenangan pihak gereja, pengadilanlah yang paling berwewenang dan berkompeten tentang hal tersebut. Saat ini proses hukum sedang berlangsung, tentunya butuh waktu dan diharapkan semua pihak bersabar untuk menunggu hasilnya.

Anggota TNI yang melakukan penembakan sedang menjalani pemeriksaan di Pomdam XVII/Cen dalam rangka proses hukum, demikian pula Polda Papua akan segera melaksanakan proses hukum terhadap pelaku kerusuhan terutama provokator yang menjadi pemicu terjadinya kerusuhan.

Dalam peroses hukum khususnya terhadap oknum anggota TNI yang melakukan penembakan, tentunya pengadilan akan menijau dan mempertimbangkan berbagai aspek dalam mengeluarkan keputusan hukum. Diantaranya pengadilan dapat menerapkan Pasal 49 KUHP yang mengatur mengenai perbuatan “pembelaan darurat” atau “pembelaan terpaksa” (noodweer) untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat. Jadi semua pihak jangan terlalu mudah melontarkan tudingan apalagi kecaman tanpa dasar.

Demikian pula yang sedang tersebar di media sosial (medsos) saat ini tentang catatan korban penembakan yang dilakukan oleh aparat TNI/Polri selama kurung waktu tahun 2019 yang mengakibatkan jatuh korban sipil hingga 11 orang. Bahwa setiap bentrokan antara aparat keamanan dengan  warga sipil di Papua yang berujung pada jatuhnya korban pasti diawali karena adanya sebab akibat.

Patut disayangkan bahwa warga kita di Papua masih terlalu mudah melakukan tindakan anarkis, melakukan penyerangan dan pengrusakan dengan berbagai macam senjata, baik senjata tajam, senjata pemukul, senjata pelempar atau pelontar senjata penikam dan lain-lain. Termasuk dalam penyampaian aspirasi sering sekali diikuti dengan tindakan anarkis sehingga aparat keamanan yang bertugas selalu dihadapkan pada pilihan sulit antara menjadi korban sia-sia atau terpaksa menjatuhkan korban.

Di sisi lain terjadinya serangkaian aksi kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, misalnya pembantaian terhadap warga dan penembakan terhadap pesawat di Kenyam, Kabupaten Nduga, pembantaian terhadap tukang ojek di Kabupaten Lanny Jaya, pembantaian terhadap pemilik kios di Kabupaten Puncak Jaya, Pembantaian terhadap puluhan orang karyawan PT. Istaka Karya di Yigi, Kabupaten Nduga, penyanderaan dan pemerkosaan terhadap guru-guru dan tenaga medis di Aroanop, Kabupaten Mimika dan di Mapenduma, Kabupaten Nduga, penyerangan dan pengrusakan oleh perusuh di Fayit, Kabupaten Asmat dan penyerangan terhadap aparat keamanan di berbagai tempat yang mengakibatkan jatuh korban jiwa dan lain-lain semuanya seolah-olah luput dari perhatian.

Bahkan terkesan sengaja ditutupi dengan pembentukan opini membeberkan berbagai kesalahan yang dilakukan oleh aparat keamanan. Meskipun kesalahan-kesalahan tersebut hanya dipandang pada hasil akhir setiap peristiwa tanpa mau jujur membahas dan meneliti bagaimana proses peristiwa tersebut terjadi.

Demi untuk menjamin kepastian dan kewibawaan hukum diseluruh wilayah hukum NKRI maka hukum positif harus ditegakkan. Misalnya penerapan UU Darurat Republik Indonesia No. 12 tahun 1951 tentang larangan membawa dan menggunakan senjata tajam, senjata pemukul, senjata penikam dan lain-lain dengan tuntutan hukum hingga 20 tahun penjara.

Sebaiknya semua pihak mampu menempatkan diri pada batasan, tataran, fungsi dan kewenangan masing-masing tanpa harus mencampuri dan melampaui batasan kewenangan pihak lain.

Kita semua tentunya berduka cita dan berbelasungkawa atas kejadian di Fayit serta kejadian-kejadian lain yang memakan korban. Atas nama seluruh Prajurit TNI di wilayah Kodam XVII/Cen dan atas nama  pelaku penembakan (Oknum anggota TNI) yang saat ini sedang menjalani proses hukum, Pangdam Mayjen Yosua Pandit Sembiring telah menyampaiakan rasa duka cita dan bela sungkawa yang sedalam-dalamnya atas peristiwa yang memakan korban tersebut.

Beliau juga telah menfasilitasi para unsur penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Pangdam juga telah berjanji akan menanggung segala biaya pengobatan terhadap korban luka tembak atas nama Jhon Tatae yang sekarang sedang dirawat di RS. Bhayangkara Jayapura, termasuk biaya transportasi kembali ke kampung halamannya kelak bila sudah sembuh.

Sebaiknya pihak gereja sesuai dengan fungsinya  mengajak seluruh warga berdoa agar korban diterima di sisi Yang Maha Kuasa, dan agar peristiwa seperti ini tidak terulang lagi serta seluruh pihak dapat saling memaafkan dan kembali merajut persatuan dan kesatuan untuk bersama-sama membangun Bangsa dan Negara.

Melalui gereja juga hendaknya ikut berperan menghimbau masyarakat agar sadar dan taat hukum. Setiap warga hendaknya menghindari menyimpan, memiliki dan menggunakan berbagai macam senjata jenis apapun tampa hak. Karena kepemilikan dan penggunaan senjata jenis apapun adalah melanggar hukum dan perundang-undangan.


Kolonel Inf Muhammad Aidi
Kapendam XVII/Cenderawasih
Share This:    Facebook  Twitter

Lukisan Persiapan Gerilya dan Pemandangan di Kaliurang

Lukisan Persiapan Gerilya dan Pemandangan di KaliurangKetika Ibukota Indonesia pindah ke Yogyakarta, Dullah bersama Sudjojono mendirikan SIM (Seniman Indonesia Muda) di Solo. Tidak lama berada di Solo, Dullah kemudian pindah ke Yogyakarta dan diangkat menjadi Sekretaris SIM Yogya. Pada waktu Itu SIM Yogya diketuai oleh Rusli dan Harijadi S. Sebagai bendaharanya. Dullah memimpin kursus melukis dan memiliki murid sekitar 100 orang yang dibagi dalam dua kategori, yaitu kategori anak-anak dan kategori dewasa.Pada kurun waktu antara tahun 1948 -1949, Dullah pernah mengajukan usul kepada Bung Karno untuk membuat lukisan. Bung Karno kemudian menyetujuinya dan untuk teknis pelaksanaannya agar dikoordinasikan dengan Kementerian Penerangan yang pada saat itu diwakili oleh R.M. Haryoto, Sekretaris Jenderal Kementerian Penerangan.

Melalui R.M. Haryoto, Dullah kemudian mendapatkan pesanan sebuah lukisan yang bertema perjuangan kemerdekaan. Dalam rapat yang dilaksanakan SIM yang dipimpin oleh Sudjojono jenis lukisan seperti apa dan berapa ukurannya pun ditentukan. Sebagai seorang seniman Dullah tidak mau dikekang dengan aturan tersebut.

Pada saat Dullah telah menyelesaikan lukisannya, Sudjojono sangat terkejut karena lukisan tersebut menyimpang dari ukuran yang telah ditentukan. Perihal lukisan yang tidak sesuai dengan ukuran ini akhirnya disampaikan kepada Bung Karno. Keputusan final pun harus diambil dan pada akhirnya lukisan yang berukuran terlalu besar itu harus dipotong sekitar 1 meter.

Dullah tidak dapat mengelak dan harus mengalah atas keputusan itu walaupun ia masih tetap marah dan kesal. Perlahan lukisan itu pun akhirnya ia gunting. Matanya tidak dapat menahan rasa kecewanya dan ingin segera menutup potongan lukisan tersebut. Beberapa hari kemudian Dullah menyulap potongan lukisan itu dengan objek pemandangan alam yang kemudian diberi judul Pemandangan di Kaliurang atau Hutan di Gunung Merapi.

Lukisan Pemandangan di Kaliurang atau Hutan di Gunung Merapi ini kemudian ditampilkan dalam sebuah pameran bertajuk “Pameran Realisme Yogya” yang dilaksanakan oleh Kementerian Penerangan pada tahun 1949 dan dibuka oleh Menteri Penerangan Arnold Mononutu.

Selesai pameran, lukisan tersebut diserahkan kepada Bung Karno yang kemudian dipasang di ruang kerjanya. Lukisan ini pernah juga didisplai di Museum Gedung Joang 45, Jalan Menteng Raya No. 31 Jakarta. Saat ini lukisan persiapan gerilya terpasang di Istana Kepresidenan Bogor dan lukisan Pemandangan di Kaliurang dipasang di Istana Kepresidenan Jakarta.

Lukisan Persiapan Gerilya didedikasikan sebagai bentuk dokumentasi perjuangan yang sama sekali tidak menggambarkan adegan pertempuran di medan laga atau kontak senjata dengan penjajah. Lukisan ini menggambarkan sebuah persiapan untuk melaksanakan sebuah pertempuran.

Secara visual karya ini memiliki tingkat pengerjaan yang kompleks, nilai ide dan sejarahnya sangat tinggi. Penggarapan figur dikerjakan dengan sangat detail dan kuat dengan warna-warna yang begitu mengena yang sangat sesuai dengan karakter sosok para pejuang.

Beberapa figur yang nampak dalam lukisan ini antara lain seorang pejuang yang sedang melihat jam tangannya, ada yang sedang membersihkan senjata, ada yang memegang kotak amunisi, ada pula yang sedang melinting rokok, dan menenggak air dari kendi.

Dullah menggunakan sejumlah teman gerilyanya untuk dijadikan model lukisan ini. Mereka berasal dari Gunungkidul. Material untuk membuat lukisan ini masih sederhana, misalnya cat yang digunakan adalah cat kaleng untuk kayu. Perlu waktu empat bulan bagi Dullah untuk menyelesaikan lukisan ini, termasuk pembuatan sketsanya di kertas. Untuk pengerjaan lukisan ini, Dullah mendapatkan upah sebesar Rp. 1.750, 00, sebuah nilai yang tinggi pada waktu itu.

Lukisan Persiapan Gerilya pada tahun 1959 dipakai sebagai ilustrasi sampul buku Di Bawah Bendera Revolusi edisi I. Selanjutnya pada masa pemerintahan Orde baru, lukisan ini digunakan sebagai ilustrasi sampul buku 30 Tahun Indonesia Merdeka.

Sumber: Bung Karno Kolektor & Patron Seni Rupa Indonesia, Mikke Susanto.

Oleh : Dr. Kukuh Pamuji, S.Pd., M.Pd., M.Hum.
Widyaiswara Ahli Madya di Pusdiklat Kementerian Sekretariat Negara
Share This:    Facebook  Twitter

Rehabilitas Sosial Untuk Disabilitas di Indonesia

Asian Para Games 2018 menjadi titik balik untuk penataan berbagai kebutuhan masyarakat disabilitas, karena selama ini mereka termarjinalkan. Upaya pemerintah dalam melindungi kehidupan penyandang disabilitas, sudah tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Seperti halnya yang belum lama ini diterbitkan yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, yang sudah tidak sesuai lagi dengan paradigma kebutuhan penyandang disabilitas.

Selain itu, Upaya pemerintah untuk mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan penyandang disabilitas, adalah dengan cara peningkatan kesejahteraan penyandang disabilitas, yang dilaksanakan melalui kesamaan kesempatan, rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial. Hal ini, sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Disabilitas.

Hal tersebut di atas, dibahas juga pada acara Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Staf Khusus Presiden Diaz Hendropriyono di Gedung Sekretariat Negara RI sayap Timur, Jakarta pada tanggal 22 Februari 2019. Dengan Tema “Rehabilitasi Sosial Untuk Disabilitas di Indonesia” bahwa negara hadir bukan untuk menciptakan ketergantungan, tetapi kemandirian sosial.

Pada tahun ini, Kementerian Sosial menargetkan pemberian bantuan : (a). 22.500 Asistensi Sosial Penyandang Disabilitas, (b). 4.001 Pemberian Alat Bantu Penyandang Disabilitas, (c). 6.000 Kartu Disabilitas, (d) 4. 30 Bantuan Sosial Perorangan dan (e). 1.000 Bantuan Kemandirian Penyandang Disabilitas.

Menurut Undang Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Hak  Penyandang Disabilitas, bahwa penyandang disabilitas yaitu orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual atau sensorik dalam jangka waktu lama, yang berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak.

“Penyandang disabilitas merupakan “minoritas terbesar di dunia” umumnya memiliki tingkat kesehatan yang kurang baik, prestasi pendidikan yang lebih rendah, kesempatan ekonomi yang lebih sedikit, dan tingkat kemiskinan yang lebih tinggi dibandingkan orang non-disabilitas. Hal ini, sebagian besar disebabkan oleh kurangnya layanan yang tersedia bagi mereka (seperti teknologi informasi dan komunikasi serta transportasi) dan banyak kendala yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari hari.

Kepala Tim Riset LPEM-FEB Universitas Indonesia, Alin Halimatussadiah menjelaskan, bahwa estimasi jumlah penyandang disabilitas di Indonesia sebesar 12,5 persen. Yang masuk kategori sedang sebanyak 10,29 persen dan kategori berat sebanyak 1,87 persen. Sementara itu, prevelansi disabilitas provinsi di Indonesia antara 6,41 persen sampai 18,75 persen.

Dari angka 12,15 persen penyandang disabilitas 45,74 persen tingkat pendidikan penyandang disabilitas tidak pernah atau tidak lulus SD, jauh dibandingkan non-penyandang disabilitas yang sebanyak 87,31 persen berpendidikan SD ke atas. Ternyata jumlah penyandang disabilitas lebih banyak perempuan yaitu 53,37 persen. Sedangkan sisanya 46,63 persen adalah laki laki.

Komitmen Presiden Wujudkan Kesetaraan Disabilitas

Presiden Joko Widodo dalam membangun Indonesia inklusi dan ramah disabilitas, tidak diragukan lagi. Komitmen ini, terlihat dari kesungguhan Presiden mendorong penyandang disabilitas untuk lebih berperan dan berpartisipasi aktif dalam pembangunan. Berbagai langkah dilakukannya, baik dari sisi perundang-undangan maupun program afirmatif yang responsif, disabilitas telah dilakukan dan dirasakan manfaatnya oleh para penyandang disabilitas. Komitmen, kesungguhan dan keberpihakan Presiden menumbuhkan harapan, bahwa kehidupan penyandang disabilitas akan jauh lebih baik di masa yang akan datang.

Keberpihakan Presiden Jokowi terhadap penyandang disabilitas, terbukti dari berbagai kebijakan afirmatif yang sudah dijalankan, seperti: Program Asistensi Penyandang Disabilitas Berat yang telah diberikan kepada 71.448 orang. Program Keluarga Harapan (Penyandang Disabilitas) 73.932 orang dan pemberian Alat Bantu Penyandang Disabilitas kepada 3.164 orang.

Hal ini, diperkuat lagi dengan kebijakan Presiden dengan memberikan bonus kepada para atletnya yang jumlahnya seperti yang diberikan kepada para atlet Asian Games 2018.  Bahkan atlet yang tidak meraih medali pun diberikan bonus sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan atas seluruh dedikasi dan perjuangan para atlet untuk bangsa dan negara Indonesia tercinta.

Selain itu, negara hadir untuk melindungi, menghormati dan memajukan hak hak penyandang disabilitas. Kehadiran negara di era Presiden Jokowi bagi penyandang disabilitas, tidak hanya terbatas pada pengaturan perundang undangan. Namun demikian, negara juga hadir untuk menjamin partisipasi penyandang disabilitas dalam segala aspek kehidupan seperti: pendidikan, kesehatan, pekerjaan, politik, olahraga, seni dan budaya serta pemanfaatan teknologi, informasi dan komunikasi.

Semua kebijakan, program dan langkah-langkah keberpihakan pemerintah terhadap menyandang disabilitas harus dilanjutkan. Mengingat, hal ini penting bagi masyarakat Indonesia dan penting bagi masyarakat kebutuhan khusus Indonesia atau disabilitas untuk memberikan dukungan kepada Pemerintah. Di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, Indonesia akan semakin maju dan disabilitas Indonesia semakin sejahtera dan berdaya.

Presiden Jokowi ingin memberikan motivasi bagi semua penyandang disabilitas, karena banyak hal yang positif, yang bisa dan mampu dilakukan, termasuk menciptakan prestasi, walaupun kondisi tubuh yang tidak sempurna. Hal ini, sejalan dengan mottonya “Kerja, Kerja dan Kerja“ yang selalu dikampanyekannya.

Untuk lebih memasyarakatkan lagi, Pemerintahan Jokowi mendorong seluruh daerah untuk membangun infrastruktur dan fasilitas umum yang ramah disabilitas. Presiden mengatakan, bahwa pemerintahannya akan memberikan insentif bagi pengembang yang membangun gedung ramah lingkungan untuk kaum difabel. Hal ini untuk mendorong seluruh provinsi, kabupaten/kota di Indonesia ramah terhadap penyandang disabilitas.

Pesan dan Harapan Presiden terhadap Kaum Disabilitas

Presiden mengatakan, bahwa para penyandang disabilitas tetap percaya diri untuk meraih prestasi. “Saya berpesan kepada para penyandang disabilitas untuk selalu percaya diri meraih prestasi. Saya tanya Adul Holik minta apa, dia bilang minta sekolah dari SD sampai kuliah. Semangat seperti ini yang harus kita tumbuhkan dan kita tingkatkan,” kata Presiden (Senin, 3/12/2018). Ketika menghadiri acara Puncak Peringatan Hari Penyandang Disabilitas (HPD) 2018 yang diselenggarakan oleh Kementerian Sosial RI di Bekasi, Jawa Barat.

Dalam pidatonya di hadapan ribuan penyandang disabilitas, Presiden meminta kepada Menteri Sosial Agus Gumiwang untuk mendirikan pabrik yang kelak dapat memperkerjakan dan dikelola oleh penyandang disabilitas. “Saya ingin yang konkret dan riil. Undang-Undang yang mengatur tentang hak-hak penyandang disabilitas sudah ada. Sekarang yang penting adalah implementasinya,” kata Presiden, yang disambut tepuk tangan ribuan penyandang disabilitas.

Sementara itu, Menteri Sosial Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan bahwa kampanye Indonesia Inklusi dan Ramah Disabilitas dilakukan melalui berbagai saluran media. Di media sosial, Kementerian Sosial mengajak netizen berbagi pengalaman dan kisah inspiratif memiliki keluarga dan sahabat penyandang disabilitas, jejak pendapat seputar pemahaman tentang seberapa jauh pemahaman netizen terhadap isu-isu stabilitas, serta mengajak mereka terlibat aktif dalam kampanye sosial melalui hashtag #indonesiaramahdisabilitas.

Begitu juga, dalam acara penandatanganan nota kesepahaman antara Kementerian Sosial dengan Kementerian Perindustrian terkait Pelatihan, Sertifikasi dan Penempatan Kerja Bagi Penyandang Disabilitas, di Jakarta, Kamis (27/12/2018). Menteri Sosial menyampaikan, “Dengan terbukanya kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas di berbagai sektor, baik di sektor formal atau informal, baik sebagai pekerja di perusahaan dan sektor industri, ataupun sebagai pelaku wirausaha pada sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM), diharapkan meningkatkan kemandirian ekonomi penyandang disabilitas.”

Dengan adanya komitmen untuk menegakkan Konvensi Hak Anak (KHA) dan Konvensi Hak Penyandang Disabilitas (KHPD), pemerintah di seluruh dunia telah mengambil tanggung jawab untuk memastikan bahwa seluruh anak, baik itu penyandang disabilitas atau bukan, bisa menikmati hak hak mereka tanpa diskriminasi apapun. Konvensi ini menjadi saksi atas meningkatnya pergerakkan global yang didedikasikan untuk inklusi anak penyandang disabilitas, memiliki hak yang sama.

Melalui rehabilitasi sosial penyandang disabilitas, diharapkan terbangun semangat dari para penentu kebijakan untuk lebih memperhatikan akan nasib para penyandang disabilitas yang ada di Indonesia, mengingat jumlahnya dari tahun ke tahun semakin bertambah. Untuk itu diperlukan wadah/organisasi yang dapat lebih menampung semua penyandang disabilitas yang memerlukan perhatian dari pemerintah.

Jadikan mereka aset bangsa yang dapat mengharumkan nama baik Indonesia di kancah mata dunia. Seperti yang mereka ikuti diberbagai lomba, baik olahraga maupun pendidikan. Mereka selalu mendapatkan juara walaupun dengan keterbatasan yang dimilikinya.

Hidup disabilitas, jayalah bangsaku….

Oleh :  Tirta Purnama Uji
Staf Asisten SKP-DH
Share This:    Facebook  Twitter

KPU Terbuka dan Transparan Lewat Hitung Manual dan Situng

KPU Terbuka dan Transparan Lewat Hitung Manual dan SitungSitung singkatan dari Sistem Penghitungan Hasil Pemilu/Pilkada adalah sistem informasi yang dibuat Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk memenuhi kebutuhan publik mengetahui hasil penghitungan suara sementara yang sedang direkap secara berjenjang. Situng menjadi bagian penting dalam konteks menginformasikan hasil pemilu secara cepat atau quick real count (QRC).

Keberadaannya bersifat sementara karena hasil yang ditetapkan oleh KPU bukanlah hasil rekap dari situng, melainkan berdasarkan rekapitulasi hasil pemilu secara manual dan berjenjang (hitung manual) yang dilakukan dalam rapat pleno terbuka dihadiri saksi peserta pemilu dan pengawas serta publik dapat mengaksesnya.

Pertanyaan yang kerap muncul ada dua. Mengapa bukan hasil situng saja yang ditetapkan KPU sebagai hasil resmi KPU dan apakah hasil situng akan berbeda dengan hitung manual?
Pertama, mengapa hasil situng tidak ditetapkan KPU sebagai hasil resmi karena regulasi pemilu (undang-undang) hanya mengatur hasil pemilu ditetapkan berdasarkan rekapitulasi hasil pemilu secara manual dan berjenjang (hitung manual) dalam rapat pleno terbuka. Kegiatan rapat pleno terbuka, sesuai namanya dihadiri sejumlah pihak yang menjamin prinsip keterbukaan/transparan alias tidak tertutup.

Mekanisme rapat pleno terbuka oleh KPU pada seluruh tingkatan dapat dihadiri stakeholder terkait, yaitu diikuti perwakilan peserta pemilu, pengawas pemilu (Bawaslu) dan pihak lain yang terkait. Biasanya media massa dan elektronik serta bila memungkinkan kapasitas ruangan, dapat diikuti oleh masyarakat.

Rapat pleno terbuka dengan peserta tersebut memungkinkan perwakilan peserta pemilu dan pengawas pemilu untuk menyampaikan pendapatnya. Masyarakat umum dapat pula menyampaikan pendapatnya melalui perwakilan peserta pemilu atau pengawas pemilu.

Mekanisme rapat pleno terbuka menjadi mekanisme pengambilan keputusan penting dan wajib dilakukan jajaran KPU pada sejumlah tahapan penyelenggaraan pemilu, termasuk dalam menetapkan hasil pemilu.

Pada pemilu 2019, penetapan hasil pemilu setelah kegiatan di TPS usai mulai dilaksanakan pada tingkat kecamatan oleh PPK (panitia pemilihan kecamatan), dilanjutkan pada tingkat kabupaten/kota oleh KPU Kabupaten/Kota, dilanjutkan pada tingkat provinsi oleh KPU Provinsi dan terakhir di tingkat nasional oleh KPU RI.

Bagaimana pelaksanaan rapat pleno terbuka penghitungan hasil pemilu?
Pelaksanaan rapat pleno terbuka rekaptiulasi hasil pemilu di kecamatan dilakukan dengan membuka kotak suara yang berisi hasil pemilu satu per satu TPS tiap desa/kelurahan.

Petugas PPK (dapat dibantu PPS) membacakan hasil pemilu per TPS dihadapan para saksi peserta pemilu, mulai saksi pilpres 01 dan 02 maupun saksi pemilu legislatif unsur parpol dan perseorangan (DPD) serta pengawas pemilu di tingkat kecamatan, panwascam.

Selama proses rekap berlangsung per TPS, para saksi dan panwascam dapat menyampaikan pendapat apabila ada perbedaan hasil antara form C1 TPS yang dibacakan oleh petugas PPK dengan form C1 yang dimiliki para saksi dan Panwascam.

Lho, apa mungkin hasilnya beda, bukankah form C1 sumbernya sama dari KPPS?
Idealnya hasil pemilu di TPS yang tertuang pada form C1 dan dibagi ke seluruh saksi dan pengawas TPS saat selesai pemilu di TPS jumlahnya sama. Perbedaan dapat terjadi karena dua hal, yaitu kekeliruan penulisan saat membuat salinan form C1 atau ada potensi manipulasi.

Kedua hal tersebut dengan proses cek dan ricek dapat diselesaikan dengan menyandingkan form C1 yng dimiliki masing-masing pihak. Dalam hal terjadi perbedaan hasil yang tak dapat diselesaikan dengan menyandingkan form C1, dimungkinkan melihat form C1 Plano.

Apa lagi nih form C1 Plano?
Form C1 Plano adalah formulir pencatatan perolehan suara peserta pemilu yang dilakukan dengan cara tally di TPS. Dokumen ini yang banyak diposting kemarin setelah penghitungan suara pilpres. Form C1 Plano hanya ada satu sehingga menjadi rujukan akhir dokumen hasil pemilu.

Apabila masih juga terjadi masalah terhadap form C1 Plano, dimungkinkan membuka kotak suara dan menghitung ulang hasil pemilu TPS tersebut di kantor kecamatan. Dengan mekanisme ini, perbedaan hasil pemilu di TPS antara pihak dapat diselesaikan.

Kedua, apakah hasil situng akan berbeda dengan hitung manual? Selama form C1 yang telah dibuat oleh KPPS tidak terdapat kekeliruan pengisian dan koreksi dalam rapat pleno terbuka penghitungan suara di setiap jenjang, hasil sitng dengan hitung manual akan sama. Apabila terdapat perbedaan antara situng dan hitung manual tentu yang dijadikan dasar penetapan hasil pemilu adalah hitung manual.

Lantas, bagaimana proses situng berjalan ?
Proses situng dilaksanakan oleh KPU sebagai berikut:
  •     Petugas KPPS menyelesaikan pengisian formulir Model C, termasuk form C1.
  •     Petugas KPPS membagi form C1 ke semua saksi, pengawas TPS dan tentu petugas PPS untuk diteruskan ke petugas PPK.
  •     Petugas PPK meneruskan form C1-Situng ke KPU Kabupaten/Kota.
  •     Petugas KPU Kabupaten/Kota melakukan scan dan entry form C1.
  •     Hasil scan dan entry masuk ke server Situng.
  •     Pejabat KPU terkait melakukan verifikasi hasil scan dan entry.
  •     Hasil scan dan entry dipublikasikan dengan update per satu jam sekali oleh KPU RI,

KPU RI membuat proses situng scan dokumen form C1 secara otentik dan apa adanya. Petugas KPU di berbagai tingkatan dilarang memberi coretan apapun pada form C1, termasuk melakukan koreksi atau perbaikan apabila ada pengisian form C1 oleh jajaran KPPS yang keliru.

Mekanisme koreksi atau perbaikan hanya dapat dilakukan dalam rapat pleno terbuka penghitungan suara pada jenjang berikutnya, yaitu di PPK. Hal ini yang nantinya membuat perbedaan antara hasil pemilu situng dengan hitung manual. Hasil hitung manual yang akan menjadi dasar penetapan hasil pemilu.

KPU RI membuat situng entry angka hasil pemilu di TPS untuk menginput hasil pemilu agar dapat disajikan rekap perolehan suara dalam bentuk infografis. Situng entry sumbernya dari form C1 yang discan dan dipublikasikan, dengan demikian mestinya hasil kedua proses tersebut sama.

Dalam hal terjadi perbedaan antara publikasi scan form C1 dengan entry form C1, KPU akan melakukan koreksi. Perbedaan yang terjadi dimungkinkan terjadi karena keliru dalam entry data. Namun dengan sendirinya bisa dikoreksi karena secara bersamaan KPU melakukan proses situng scan form C1.

Tudingan Ke Situng KPU
Tudingan KPU melakukan manipulasi atau curang dalam proses Situng Entry tidak mendasar. Komitmen KPU tetap menyajikan tampilan hasil pemilu berbasis form C1 apa adanya sebagai bentuk pelayanan informasi publik yang berifat sementara dan apa adanya. Sikap terbuka dan transparan KPU menjadi bentuk kesungguhan KPU menghitung hasil pemilu secara berintegritas.

KPU secara sengaja membuat proses situng scan dan situng entry agar publik bisa melakukan cek dan ricek dengan hasil pemilu di TPS masing-masing. Sehingga tidak hanya pengecekan antara hasil situng scan dan hasil situng entry saja yang bisa di cek, melainkan hasil situng baik scan dan entry dengan dokumen hasil foto masyarakat di TPS kemarin (foto form C1 plano) bisa di cek dan ricek.

Akhirnya seiring dengan proses rekap manual secara terbuka dan berjenjang selesai pada setiap tingkatan, akan diketahui dan terkonfirmasi semua tudingan tersebut.

Demikian sekilas proses penghitungan selesai secara terbuka dan transparan konsisten dilakukan oleh KPU, mari bersama kawal suara rakyat yang sedang dilakukan hitung manual dan situng untuk hasil pemilu yang berintegritas.

Oleh:  Viryan Azis
Komisioner KPU RI
Share This:    Facebook  Twitter

People Power, State in Emergency : Catatan Untuk Ir. Joko Widodo Presiden RI 2014-2019

People Power, State in Emergency Pemilihan Umum 2019 telah memunculkan ketidakpastian di publik. ada yang merasa cemas, was was  meskipun kedua Calon Presiden telah menyatakan agar masyarakat tetap menjaga ketertiban dan keamanan. Meskipun demikian dalam dunia politik segalanya mungkin. Apalagi rakyat melihat ada indikasi kuat dugaan manipulasi secara masif dibalik penggiringan opini yang dilakukan oleh lembaga lembaga penggiring opini yang sebagian berafiliasi ke  Tim Sukses Petahana, media mainstream alat propaganda penguasa dan para pengamat. Sedangkan sedari awal rakyat merasakan aroma kemenangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.

Dalam hal ini apa yang akan terjadi apabila ternyata hasil pemilu ditentukan oleh para penghitung suara dan manipulator, bukan oleh pemilik dan pemberi suara. Secara spontan Amin Rais telah melontarkan akan ada people power jika penyelenggara pemilu tidal netral. Tetapi yang patut diduga dan diikuti adalah Petahana  memiliki indikasi yang kuat menyiapkan pernyataan negara dalam keadaan darurat. silakan membaca.   

Pemilihan Presiden itu Jujur dan Adil

Tulisan ini adalah analisa saya berpedoman pada petunjuk Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) terkait Hak Asasi Manusia (HAM) dan Pemilihan (United Nation Guidelines on Human Right and Election) tahun 1994. Bahwa pelaksaan Pemilu sejatinya adalah momentum terpenting bagi sebuah Negara untuk memperbaiki iklim demokrasi dan meningkatkan nilai hak asasi manusia. Ada 4 variabel utama terkait pemilu yang ditegaskan oleh PBB: 1). Hak untuk memilih (right to vote). 2) Hak untuk dipilih (right to take a part of government and Politics). 3) Pelaksaan Pemilu secara jujur dan adil (free and fair elections). 4. Negara Dalam Keadaan Darurat (State in emergencies) dan People Power.

Pertanyaannya adalah apakah dalam pelaksanaan pemilu serentak 2019, ketiga variabel (1-3) tersebut di atas berlangsung sesuai dengan standar internasional dan prinsip-prinsip demokrasi? Perlu diperdebatkan!.

1. Perdebatan terkait Hak Memilih sedari awal sudah bermasalah. Penentuan jumlah pemilih pada Pemilu Presiden 2014 sebanyak 190 juta, sedangkan DPT Pilpres 2019 sebanyak 192 juta. Peningkatan jumlah DPT sebesar 2 juta tentu tidak rasional. Belum lagi berbagai polemik terkait KTP.

Pada pemilihan 2019 ada kecenderunganm berpotensi munculnya Pemilih Terselubung dan Pemilih Hantu (ghost voters). Negara juga hampir turut mengabaikan kelompok rentan (vurneable groups) khususnya disabilitas sebanyak 20 juta orang. DPT 17,5 juta dan dugaan menyusupnya warga negara asing sebagai pemilih turut menyuburkan dugaan terjadinya manipulasi secara massif penyelenggaraan pemilu 2019.

2. Negara juga belum mampu menjamin warga Negara untuk ikut serta dalam pelaksaan pemilu di negeri ini. Sedari awal, di bawah resim Joko Widodo, Negara dengan sadar dan sengaja melakukan pembatasan setiap warga Negara untuk ikut bertarung dalam pilpres. Pembatasan melalui undang-undang pemilu yang menegaskan Calon Presiden hanya dapat diusung partai politik dengan persentasi dukungan politik sebesar 20%. Partai-partai kecil tidak punya peluang dan kesempatan untuk mengusung kader-kader terbaik untuk menjadi calon presiden. Banyak tokoh-tokoh politik terbaik di Indonesia yang kecewa. Akibatnya puncuk pimpinan nasional hanya dimonopoli oleh sekelompok oligarki politik dan oligarki ekonomi dan berpotensi melahirkan pemimpin kurang kompeten dari kelompok pemilih mayoritas khususnya Pulau Jawa.

3. Penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) yang kurang kompeten, profesional  berpengaruh pada penyenggaraan pemilu yang tidak jujur dan adil. Pemberian kisi-kisi kepada Capres dalam debat pertama 17 Januari 2019 menunjukkan bahwa KPU tidak punya visi untuk melahirkan seorang pemimpin yang kompeten. Rakyat cenderung melihat KPU membantu Capres tertentu yang disadari umum memilih kemampuan intelektual, kompetensi kepemimpinan lemah. Demikian pula, penegakan hukum yang tidak berimbang dipertontonkan oleh Bawaslu adalah wujud nyata tidak adil dan jujur.

Proses hukum oleh penyelenggara pemilu lebih cenderung menyulitkan Calon Presiden Prabowo Subianto dan para pendukung untuk meraih kekuasaan secara demokratis. Pentersangkaan terhadap K.H. Slamet Maarif adalah satu satu contoh betapa tidak adilnya para penjaga keadilan. Demikian pula dipihak lain, Luhut Panjaitan, Sri Mulyani di Forum IMF Bali, Gubernur Bali, Bupati Bandung Barat yang memerintahkan pengangkatan Pegawai Honorer dengan jaminan memilih PDIP dan berbagai kesalahan lainnya yang dilakukan oleh Tim Petahana (Joko Widodo) nyaris tidak pernah diproses hukum secara adil. Tindakan tidak netral ini berpotensi mengganggu asas non diskrimasi dihadapan (due proses of law).

Manipulasi Masif

Pemerintah mesti memahami intensi dasar dari sebuah perhelatan demokrasi bahwa pemilihan tidak hanya pemberian kedaulatan kepada seorang Presiden Prabowo atau Joko Widodo, tetapi rakyat juga ikut menentukan masa depan selama 5 tahun. Kedaulatan yang diperoleh seorang Presiden juga merupakan resultante kedaulatan-kedaulatan individu untuk mengelola Negara (summa potestas sive sumum sive imperium dominium). Apakah relevan bahwa hari ini Joko Widodo adalah pemegang kedaulatan dan pengelola kedaulatan? Sebagai Presiden tentu saja benar!, Namun Joko Widodo dalam kapasitas sebagai Calon Presiden  2019-2024 kedaulatannya terkunci atau dikunci oleh sumber kekuasaan yaitu Undang-Undang Pemilu dan Etika Berpolitik dan Berpemerintahan. Karena itu Presiden tidak bisa serta merta menggunakan kekuasan (otoritas) dan sumber daya publik (negara) untuk kepentingan mengdongkrak elektabiltas. Kecenderngan penyalagunaan kekuasaan untuk meningkatkan elektabilitas sangat terang benderang. Apalagi semakin hari semakin membahayakan karena mengancam tata kelolah pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

Berbagai kebijakan dan tindakan Joko Widodo yang bersifat bantuan secara lansung maupun tidak langsung makin meyakinkan rakyat bahwa pemerintah secara terencana, terstruktur, sistemtis dan massif menggunakan kekuasaannya hanya untuk kepentingan pemilihan Presiden. Ada beberapa tindakan atau kebijakan Presiden Joko Widodo yang mengancam hak pemilih dalam demokrasi yang dapat berpotensi memupuk kekecewaan rakyat  diantaranya:

1. Kobarkan Sindrom Kekuasaan

Menurut ilmu Polemologi, pemimpin yang mengambil keputusan perang adalah pemimpin yang memang haus akan kekuasaan dan  bertujuan untuk merebut kekuasaan atau melanggengkan kekuasaan. Selain itu juga pemimpin yang secara terang-terangan mendeklarasikan perang di hadapan rakyatnya jelas membuktikan bahwa dirinya adalah pribadi yang ambisius. Perang dalam ilmu polemologi sendiri tidak hanya berwujud perang fisik melainkan perang non fisik. Perang non fisik adalah kekerasan verbal  isinya bertentangan dengan hukum yaitu agitasi, propaganda atau hatespeech. Pidato Presiden Joko Widodo dalam rapat umum relawan di SICC, Bogor, Jawa Barat, Sabtu tanggal 4 Agustus 2018 menuai pro dan kontra di tengah masyarakat.

Pasalnya, Joko Widodo yang menjadi petahana pada Pilpres 2019 meminta para relawannya untuk berani jika diajak berantem alias berkelahi. Selain pernyataan-pernyataan yang mengancam dan membahayakan instabilitas sosial dan integritas nasional juga kata-kata seperti sebutan Genderuwo, Sontoloyo, propaganda Rusia, Pernyataan perang total oleh Moeldoko dan pernyataan yang mengejutkan seperti 4 tahun bersabar menghadapi tekanan oposisi oleh Joko Widodo dan yang terakhir serangan kepada Prabowo saat debat capres ke 2 tanggal 17 Pebruari 2019.

Perilaku yang ditunjukkan oleh Joko Widodo tersebut, seakan-akan menyembunyikan ketidakmampuannya (inkompetensi) dalam memenuhi janji-janji pilpres 2014 seperti; Pemantapan Kedaulatan bangsa melalui komitmen tidak impor (beras, garam, kedele, cabe, pembelian kembali indosat), pembukaan lapangan kerja 10 juta, pembukaan lahan pertanian baru sebesar 1 juta Ha dll.

2. Keputusan Eksperimental Dan Blunder

Pernyataan terkait Pembebasan Bersyarat Ustad Abubakar Ba’asyir pada pertengahan Januari 2019 menghebohkan publik Indonesia. Keinginnan Joko Widodo untuk memberi Pembebasan Bersyarat rupanya tidak tulus sehingga tidak dilakukan secara formal sebagai Kepala Negara dengan menggerakan institusi Negara yang terkait seperti Kementerian Hukum dan HAM, Kepolisian, BNPT tetapi justru dilakukan melalui pihak-pihak yang tidak kompeten dan berwenang seperti Yusril Isha Mahendra.

Sebenarnya Joko Widodo maunya memberi isyarat bahwa beliau bisa berbuat baik untuk Ulama, namun ternyata diketahui setelah ditentang oleh orang-orang atau pihak-pihak dilingkungan Joko Widodo sendiri seperti; Mahfud MD, Hasto Kristiyanto, Kuasa Hukum TKN, Kepala KSP Moeldoko bahkan Menkopolhukam Wiranto mengeluarkan pernyataan yang bersifat insubordinatif terhadap atasannya. Polemik pembebasan Ustat Abubakar Ba’asyir  telah melecehkan dan merendahkan Ulama dan Umat Islam Indonesia sehingga saat ini Umat Islam makin hari kian tersakiti.

3. Pembagian Uang dan Bingkisan atas Nama Joko Widodo

Tugas dan Kewajiban Presiden Joko Widodo sejatinya adalah memastikan adanya pemenuhan kebutuhan hidup baik pangan, sandang dan papan. Karena itu, tidak tepat mengatakan hanya semata-mata karena “hasrat baik Jokowi” (willingness) ketika pembangian uang dan sembako secara gratis atas nama Presiden kepada rakyat. Namun pembagian uang dan sembako dalam momentum pemilu tidak wajar apalagi bertepatan dengan kunjungan atau bingkisan yang tertulis calon Presiden Petahana. Tindakan-tindakan yang dipertontonkan Joko Widodo ini dapat mencederai perasaan publik bahwa rakyat Indonesia itu gampang dibeli hanya dengan uang, sembako atau gampang dibohongi dengan lantaran kebijakan populis terkait bantuan  sosial, dana desa, pengangkatan pegawai.

Pemanfatan jabatan untuk kepentingan pribadi terkait Pilpres termasuk kategori memperdagangkan pengaruh atau dagang pengaruh (trading in influensi) yang bertentangan dengan hukum, etika dan nilai moralitas. Meskipun rakyat tidak akan terpengaruh dengan tindakan-tindakan tersebut, namun demikian perasaan publik tercederai sebagai bangsa miskin yang berharap pada tuan (manunggaling kawulo gusti) atau dianggap hamba sahaja.Jokowi berbuat kurang elok dan tidak mampu meninggalkan legasi moral kepada rakyat. Pemahaman bernegara secara picik yang dipraktekan dalam perilaku birokrasi patrimonial, pemimpin sebagai “patron” dan rakyat diperlakukan sebagai “klain” di Negara Demokrasi Republik Indonesia yang sejatinya “pemimpin” maupun “rakyat” memiliki kedaulatan yaitu Kewajiban Negara dan Hak Asasi Warga Negara sesuai UUD 1945.

4. Pengekangan Kebebasan Sipil, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia

Presiden Joko Widodo dilantik pada 21 Oktober 2014 dengan ekspektasi perubahan demokrasi, hak asasi manusia, kekebasan sipil dan keadilan sosial. Pilar-pilar penting yang merupakan jargon-jargon yang ditulis dalam cita-cita Nawacita, dan diucapkan dalam berbagai kesempatan oleh Joko Wiidodo. Namun berbagai harapan akan perubahan pupus ketika formasi kabinet dan realisasi kebijakan yang jauh dari harapan dan bahkan meninggalkan tujuan dan cita-cita awal. Oposisi sudah mulai kritik Pemerintahan ketika institusi penegak hukum dan lembaha rasuah (KPK) diganggu bahkan diintervensi justru oleh kekuatan-kekuatan yang melingkari Presiden termasuk Partai Politik.

Apapun yang dilakukan oleh kelompok sipil, intelektual, aktivis, komunitas agama dan rakyat mereka menyadari sepenuhnya bahwa untuk membangun negara harus berada dalam dua ranah yaitu  partisan dan oposan. Partisan (pemerintah) membangun negara melalui otoritas dan sumber daya pemrintah, sedangkan aspek-aspek yang tidak diisi oleh negara diisi oleh kelompok oposisi. Itulah esensi bernegara yaitu pentingnya chack and balances untuk menjada pilar demokrasi, hak asasi manusia, perdamaian, keadilan sosial terlestari.

Mengingat pentingnya oposisi sebagai penyeimbang kekuatan politik dan saluran persoalan (instrument) artikulator berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat, maka kebebasan mengutarakan pikiran, perasaan dan pendapat harus dijamin dan terlestari. Demikian juga pers sebagai pilar penting demokrasi harus dilindungi, bukansebagai alat penguasa (hegemoni) rezim yang berkuasa. Salah satu kegagalan Joko Widodo dalam 4,5 tahun kepemimpinan adalah bahwa seluruh pilar-pilar tersebut diatas tergerus dan terancam.

Masyarakat saat ini terbayangi oleh bahwa ada praktir-praktik tirani kekuasaan hadir ibarat monster leviathan yang menerkam rakyat sipil terutama kelompok oposisi dan pemuka agama. Karena itulah oposisi harus diberikan ruang kebebasan untuk berkreasi menyampaikan pikiran, perasaan, dan pendapat. Hari ini ruang kebebasan terancam mustahil untuk diraih karena seluruh instrumen kekuatan itu dimanfaatkan hanya untuk melanggengkan kekuasaan. Media dimanfaatkan untuk membangun sebuah framing tentang kebaikan-kebaikan dan citra positif pemerintah di atas keterpurukan bangunan ketatanegaraan dan ketataprajaan dan segala sendi kehidupan.

5. Rakyat Tergiring Arus Besar Non Literasi

Media mainstream yang didukung rezim penguasa sebenarnya beracun dan penuh tipu daya serta propaganda busuk. Media-media massa yang sepenuhnya didukung penguasa inilah yang sepenuhnya berfungsi sebagai corong propaganda untuk melanggengkan penjajahan yang menipu para pembacanya.

Hari ini media massa bukan lagi sebagai jendela Indonesia dan dunia. Media hadir sebagai corong penguasa dan telah membangun masyarakat yang tidak cerdas dan mengancam rakyat dalam arus besar nonliterasi. Penyebab utama bukan pada media karena diikat oleh berbagai aturan dan rambuh-rambuh hukum dan etika tetapi akibat Intervensi Negara secara masif dan sistematis melalui pemilik media yang dikuasai oleh para kapitalis, punggawa kuasa dan politikus atau komprador.  Di Orde Baru ketika pers dibungkam masih ada sastra sebagai instrument penyaluran ekspresi atas rintian, ratapan, penderitaan ataupun ekspresi hiburan dan kegembiraan sebagaimana dilukiskan dalam buku Omi Intan Naomi berjudul “Anjing-Anjing Penjaga Pers Di Rumah Orde Baru, Ketika Pers dibungkam sastra Harus Bicara”.

Meskipun Tahun 2019-2024  paska pergantian kekuasaan akan terjadi perubahan dengan merevisi Undang Undang Pers atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang substansinya  mengatur kepemilikan Media agar media massa tidak boleh dimiliki oleh politisi dan bisnismen. Namun demikian kebebasan yang terkekang akan menjadi ibarat puncak gunung es yang terancam meledak jika kebebasan hakiki tersandera atau disandera.

6. Negara Mengkerdilkan Peran Umat Muslim tetapi Membiarkan Primordialisme

Pernyataan Moeldoko hari ini Tanggal 18 April 2019 bahwa kekuataan agama berpengaruh pada kemenangan Prabowo dan Joko Widodo dijadikan sebagai pemimpin anti tesa Islam mainstream. Komentar Kepala Staf Presiden secara tersirat mengkerdilkan kekuatan sivil societi terutama umat muslim Indonesia. Komentar Moeldoko sangat berbahaya dalam situasi dimana umat Islam merasa disingkirkan dan diamputasi kekuatan negara.

Sangat wajar jika umat Islam marah karena Umat Islam memiliki peran penting dalam historiografi bangsa, pahlawan perintis kemerdekaan diritis oleh kaum bersorban; Teuku Umar, Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegro, Cut Nyak Dien, Sultan Hasanudin. Demikian pula ketika negara ini merdeka, secara kuantitas dimerdekakan karena peran tokoh-tokoh Islam. Umat Islam juga merelahkan 7 kata (Syariat Islam) dihapus untuk mendirikan Indonesia yang majemuk dan negara unitarian. Tahun 1955  NU dan Masyumi yang menjadi kekuatan politik besar juga dibonsai dalam senyawa nasionalisme dan komunisme melalui Nasakom. Tahun 1973 umat Islam dikandangkan dalam satu kekuatan partai yaitu PPP, dan lebih sadis lagi di tahun 1982 dimana penerapan asas tunggal, mengancam eksistensi nilai spiritualistas agama dalam pengelolaan negara, tahun 1999 umat muslim mulai bangkit melalui hadirnya Cides, Republika dan BJ Habibie hanya bertahan 8 bulan, demkian pula Gus Dur hanya bertahan 11 bulan.

Setelah Gus Dur tidak ada kekuataan Islam yang menjadi besar, PKB tersandera dalam pragmatisme politik dan menggadaikan spritualitas agama dan nilai Kitha 1926. Ancaman nyata terhadap Umat Islam semakin keras ketika Joko Widodo menjadi Presiden tahun 2014 mulai kriminalisasi, tangkap, aniaya, bunuh terhadap para Ulama, Kiai, Habaib, Ustad, Ustadah dan aktivis Islam.

Saya mesti menegaskan adaikan Joko Widodo dimenangkan melalui manipulasi massif, sistemtis dan terstruktur maka apa yang diucapkan oleh Moeldoko telah secara nyata menenggelamkan dan mengkerdilakn peran umat Islam. Umat Islam tidak akan tinggal diam untuk menentang kezaliman dampknya negara dalam ancaman potensi perpecahan bangsa. Bukan tidak mungkin konflik horizontal suku, agama, ras dan antar golongan dapat mengancam integritas nasional 2019-2024. Sebagaimana diucapkan oleh Joko Widodo pada saat debat ke-4 calon Presiden tanggal 30 maret 2019 bahwa “NKRI bubar bukan karena ancaman negara lain, tetapi labilitas integrasi sosial”. Dengan kata lain bahwa Indonesia dengan jumlah suku sebanyak 714, berbeda agama, ras, dan golongan adalah ancaman nyata jika negara tidak menjadi perekat.

Belum lagi 73 tahun demokrasi hanya dirancang untuk memenangkan mayoritas suku yaitu “maaf saya sebut; Suku Jawa”. Kalau Umat Islam dikucilkan dan negara masih menerapkan demokrasi satu orang, satu suara dan satu nilai diganti dengan demokrasi berbasis perwakilan pada Pilpres 2024, maka tinggal tunggu waktu peristiwa tahun 2000 dimana pengusiran suku Jawa di Aceh, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua akan terulang dan akan makin berbahaya. Itu yang negara harus catat.       

Skenario State In Emergency dan People Power

Pernyataan “perang dan lawan” yang dikeluarkan oleh Joko Widodo, Pernyataan “perang total” oleh Moeldoko, dan beberapa pernyataan Wiranto yang “blunder” tentang ancaman pengenaan pidana terorisme bagi mereka mengajak golput. Sejak tahun lalu komunitas Islam dianggap sebagai kelompok radikal dan teroris yang mengancam kepentingan nasional, mengancam ideologi Pancasila yang dimunculkan dengan menuduh sejumlah masjid dan kampus terpapar radikalisme yang dimunculkan oleh Badan Intelijen Negara (BIN) yang diucapkan oleh Wawan Purwanto juru bicaranya dapat dipahami sebagai skenario dan framing Indonesia dalam seakan-akan ancaman dan bahaya.

Framing yang dibangun negara tersebut selain mereka menyampaikan ke dunia internasional untuk membangkitkan Islamophobia juga memberi signal adanya Indonesia dalam ancaman demokrasi, hak asasi manusia dan perdamaian. Pernyataan Amin Rais tentang People Power dan Konfrensi Pers Panglima TNI  hari ini tanggal 18 April 2019 yang mengancam aksi-aksi tuntutan demokrasi sudah bisa menjadi salah satu signal bagi Presiden Joko Widodo berpotensi mengeluarkan pernyataan negara dalam keadaan darurat (state in emergency). Namun  perlu diketahui bahwa tanpa melalui indikasi pernyataan darurat untuk merespons ancaman people power juga,  Joko Widodo dan kelompok oligarkinya dengan berbagai indikasi di atas sudah bisa ditebak bahwa sedari awal mereka telah menyiapkan kekacauan domestik untuk memuluskan adanya pernyatan darurat (state in emergencies). Saya menyimak betul apa yang diucapkan oleh Prabowo Subianto sebagaimana diberitahu oleh seorang rekannya bahwa “bahwa Prabowo akan terpilih tetapi yang akan dilantik adalah orang lain, bukan Anda”.

Demokrasi berbicara tentang resultante dari satu orang, satu suara dan satu nilai, demokrasi tidak bisa di bypass oleh perspektif opini, survei, quick count atau media dan pendapat ahli dan ekpresi penguasa. Pemilihan juga tidak bisa ditentukan para penghitung suara tetapi penghitung suara mengucapkan keinginan rakyat karena rakyat tidak hanya memilih pemimpin Prabowo atau Joko Widodo, tetapi rakyat ikut menentukan arah perjalanan negara untuk 5 tahun ke depan. Perilaku pongah yang dipertontonkan oleh para elit kuasa, oligarki dan komprador telah membawa negara dalam situasi kacau. Dan hari ini ancaman nyata negara dalam keadaan darurat (state in emergencies) dan people power makin nyata dan kian jadi.

Sebagai pembela kemanusiaan, demokrasi, perdamaian dan keadilan perlu menegaskan bahwa suasana ketidakpastian dan kerusakan tatanan demokrasi, hak asasi manusia dan perdamaian di negeri ini merupakan tanggungjawan negara (state obligation), bukan rakyat, karena negara harus bertanggungjawadan. Oleh karena itu, semua berpulang kepada sikap negarawan Ir. Joko Widodo selaku Presiden RI 2014-2019. Kecuali, negara meyakinkan kepada rakyat atas hasil pemilu yang akuntabel. Seandainya tidak, maka tidak ada jaminan Joko Widodo bertahan sampai 2024. Bangsa ini punya pengalaman 4 Presiden (Sukarno, Suharto, Habibie, Gus Dur) dari 7 Presiden Indonesia pernah diturunkan ditengah jalan. Saya berharap Indonesia tetap aman dan damai. 

Oleh : Natalius Pigai
Aktivis Pro Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Komisioner Komnas HAM 2012-2017
Share This:    Facebook  Twitter

Perlunya Redefinisi Manajemen Kehadiran Inpex Masela di Maluku

Perlunya Redefinisi Manajemen Kehadiran Inpex Masela di MalukuStudi literer Lembaga Riset Universitas Pattimura Ambon dan sejumlah perguruan tinggi di Maluku telah menguatkan keberanian presiden Joko Widodo, mengambil sikap terhadap bagaimana rencana awal offshore yang pada akhirnya diputuskan menjadi onshore kehadiran Blok Masela bagi rakyat Maluku.

Keberpihakan ini merupakan strategi redefinisi tujuan pembangunan nasional yang bukan hanya mencapai sebuah masyarakat moderen dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi terlebih bagaimana redefinisi dimaksud membawa manusia Indonesia secara menyeluruh dan masyarakat Maluku secara khusus hidup layaknya sebagai manusia yang bermartabat di atas tanah leluhurnya.

Rumusan-rumusan strategi pembangunan nasional dari masa ke masa, dari presiden ke presiden memimpin negeri ini, tidak jarang begitu indahnya rumusan kata-kata utopis yang indah dan enak dicerna kaum elit anak bangsa, yang tidak jarang pula melupakan kondisi riil masyarakat kampung yang hanya bisa mendapatkan apa adanya untuk hidup hari ini.

Keputusan pemerintah Joko Widodo pada akhirnya menempatkan manusia Maluku pada subjek pembangunan, sebagai subjek pula yang kiranya menikmati  dan mewarisi hasil-hasi kehadiran Blok Masela bagi sebesar besarnya kesejahteraan mereka. Demikian redefinisi itu, memiliki makna strategis bagi partisipasi masyarakat Maluku yang adalah masyarakat adat pemilik hak ulayat.

Mengapa Redefinisi Perlu?

Manusia dan kelompok penduduk asli di Provinsi Maluku  merupakan bagian yang sama pentingnya dengan manusia  dan masyarakat Indonesia lainnya. Kesungguhan pemerintah memutuskan Skema OnShore sejatinya menjadi dasar pemikiran utama hakekat manusia Maluku ditempatkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraannya.

Penghargaan dan komitmen pemerintah menempatkan seluruh skenario pada skema OnShore adalah sebuah visi baru dengan belajar dari sejarah masa lalu yang tidak edukatif bagi rakyat yang sejak jaman dahulu kala hidup dan tinggal menyatu dengan alam pemberi kehidupan bagi generasi ke generasi di Maluku.

Para pemikir yang adalah akademisi di Maluku maupun kaum praktisi telah melihat sebuah fenomena awal keputusan skema OffShore sebagai sebuah alienasi kepentingan rakyat Maluku di tengah-tengah kepentingan nasional dan dunia internasional.

Sebuah contoh kecil, di Kabupaten Kepulauan Tanimbar, politisi yang adalah mantan Ketua DPR RI, Setia Novanto telah membeli sejumlah area tanah milik masyarakat adat di desa Lermatan kecamatan Tanimbar Selatan, dengan sebuah prediksi ekonomis tentunya, bahwa kehadiran Blok Masela akan meraup keuntungan luar biasa jika tanah dibeli dengan harga murah, dan dijual ke perusahaan dengan harga yang tinggi.

Jika seorang Ketua DPR RI telah memiliki pola pikir sejauh itu, bagaimana dengan rakyat yang tak berpendidikan tinggi, harus dibodohi demi kepentingan politis? Kasihan rakyat!!! Kepentingan spekulatif pemilik kepentingan selalu saja menjadi momok bagi bagaimana sebuah visi “Kesejahteraan Untuk Rakyat” diwujudkan pemerintah melalui kehadiran Blok Masela di tengah Masyarakat Maluku bagi peruwudan kemanusiaannya. Atas dasar itulah redefinisi implementasi sebuah kebijakan wajib tumbuh dari rakyat pemilik hak ulayat.

Belajar Dari Pengalaman

Pengalaman puluhan tahun di Papua, sejak pemerintahan Orde Baru yang sentralistik membawa kesengsaraan luar biasa bagi pemilik hak ulayat orang Papua. Freeport bagaikan lumbung emas dan tembaga di tengah-tengah pemiliknya yang mengalami kesulitan hidup.

Trilogi pembangunan sebagai strategi nasional dengan pertumbuhan  sebagai panglima, hanya mengejar target kuantitatif. Dampak yang ditimbulkan adalah alat-alat produksi dan kekayaan sumber daya yang dimiliki  tidak dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat pemiliknya.

Fakta membuktikan, harga diri dirasakan termaginalisasi dari kaum bangsanya sendiri. Kehidupan kaum urban lebih mencolok dengan keahlian dan ketrampilan yang dimiliki, dan mereka yang memaknai folosofi “Bumi” sebagai “Ibu” bagi kehidupannya justeru terabaikan.

Orang asli Papua tidak hanya merasakan perlakuan yang tidak adil, tidak manusiawi tetapi lebih dari itu hak-hak dasarnya sebagai manusia ciptaan Tuhan  dan hak kewarga-negaraannya tidak dihormati, bahkan  hak azasinya dilanggar. Orang Papua  merasa terpinggirkan dan dirinya diperlakukan  sebagai “Warga Negara Kelas Dua”. Masyarakaat di daerah pedalaman dan lokasi permukiman atau kampung terpencil hampir tidak tersentuh program dan proyek pembangunan baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sendiri dan perusahaan Freeport.

Reformasi membuka cakrawala berpikir masyarakat adat Papua. Kran keterbukaan menyampaikan pendapat menjadi peluang masyarakat adat berbicara. Tuntutan ketidakpuasan dan kekecewaan  dalam bentuk protes keras kepada pemerintah pusat atas pengalaman buruk yang dialami sejak bergabung dengan NKRI. Sebagai manifestasi dari protes dan tuntutannya, “ASPIRASI MEREDEKA”  di seantero tanah Papua melalui institusi adat dan pemimpin masyarakat adat dengan lahirnya “KONGRES PAPUA II” di tahun 2000 dan “Musyawarah Besar Adat Papua” di tahun 2002 untuk menolak Otonomi Khusus Papua, (Cfr. Paulus Laratmase, “Ketika Otonomi Ditolak, Merdeka Jadi Pilihan”, Tifa Papua, Juli 2002). Demikianlah UU Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua menjadi jawaban dan solusi tuntutan masyarakat adat terhadap kondisi faktual yang dialami sejak bergabung dengan NKRI.

Coorporate Social Responsibility (CSR)

Kondisi konflik yang berkepanjangan dengan jatuh korban jiwa, materi bahkan korban psikologis yang tidak bisa dinilai telah terjadi di Papua sepanjang bergabung dengan NKRI. Lahirnya UU 21 Tahu 2001, NGO lokal, nasional bahkan internasional melakukan pendekatan-pendekatan partisipatif dalam rangka meminimalisir konflik, bahkan melakukan pekerjaan coorporate social responsibility yang diberikan perusahaan yang sejak beroperasi sudah dilakukan namun melalui pendekatan yang salah sehingga apapun bantuan  yang diberikan tidak efektif dan efisien. Di sanalah NGO lokal mejadi penting bagi kehadirian perusahaan yang selama kehadirannya tidak pernah dibutuhkan bahkan teralienasi juga seperti halnya masyarakat adat pemilik hak ulayat.

Gambaran faktual Papua dan karakteristik konfliknya, kiranya menjadi sebuah pelajaran berharga. Blok Masela dengan kontraktornya Inpex sejak penandatanganan kontrak pada tahun 1998, baru beberapa tahun terakhir melakukan pendekatan terhadap masyarakat lokal melalui program-program kepedulian sosialnya. Sejak pemerintah menandataangani kontrak dengan skema offshore sampai pada onshore, Inpex tetap melakukan pendekatan-pendekatan kepada masyarakat melalui aktifitas-aktifitas yang positif.

Potensi-potensi konflik vertikal-horisontal menyertai progres report kehadiran perusahaan yang diharapkan menyerap tenaga kerja lokal anak-anak Maluku pemilik hak ulayat. Demikian mimpi sebagai sebuah harapan besar kaum akademisi dan praktisi, pemerintah provinsiatas, kabupaten/ kota atas nama kaum termarginal  memperjuangkan dari skema offshore ke onshore. Adalah sebuah kemajuan yang selama ini dibina dan dijalin sebuah relasi yang baik antara semua unsur actual entities yang memiliki kepentingan baik pemerintah pusat, daerah bahkan masyarakat adat yang kelak merasakan hadirnya perusahaan sebagai bagian dari jalan keluar mengatasi kesulitan-kesulitan hidupnya.

Donny Rijaluddin, Specialist Soial Investment Communicatiaon and Relations Deperatement Inpex Masela yang saya kenal, beberapa kali telah memberikan penguatan kapasitas (capacity building) masyarakat adat melalui palatihan rumput laut, bercocok tanam, kelompok pengrajin kain ikat adalah bagian terkecil dari sebuah pendekatan coorporate social responsibility terhadap masyarakat adat, sebuah pendekatan bagaimana melihat hadirnya “Manusia Maluku sebagai Manusia” Yang dimanusiawikan dari apa yang dimilikinya yaitu pemilik sumber daya alam, sebuah pendekatan yang harus ditingkatkan, bahkan perlu parameter yang menjadi acuan sejauh mana secara ekonomis dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat adat itu sendiri.

Konklusi

Redefinisi dimaknai sebagai All of Actual Entities. Inpex Masela sebuah perusahaan kontraktor minyak dan gas di wilayah Maluku, sebuah ladang minyak abadi telah diperjuangkan kaum intelektualnya dari OffShore ke OnShore. Mengapa mereka memperjuangkan? Karena sejak awal mereka diabaikan sebagai pemilik hak ulayat. All of Actual Entities adalah seluruh komponen yang membentuk sebuah kesatuan sebuah subtansi.

Meredefinisi kesalahan makna implementatif kebijakan selama ini oleh pengambil kebijakan, atau pihak perusahaan kiranya sejak dini juga mulai berpikir, sebuah pendekatan holistik terhadapa seluruh komponen melalalui program-program yang “memanusiawikan manusi”  termasuk kaum termarginal dan kaum intelektual. Semoga pengalaman sejarah masa lalu Papua, tidak terulang di Maluku karena salah melakukan pendekatan bagaimana “memanusiawikan manusia Maluku”.

Oleh : Paulus Laratmase
Direktur Eksekutif LSM Santa Lusia,






















Share This:    Facebook  Twitter

Mengenal Lebih Jauh tentang MRT Jakarta

Mengenal Lebih Jauh tentang MRT Jakarta Nampaknya Jakarta tidak berhenti menunjukkan eksistensinya. Setelah gebrakan Taman Kalijodo, Simpang Susun Semanggi, Revitalisasi Lapangan Banteng, Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) kekinian dan sekarang Mass Rapid Transit atau Moda Raya Terpadu  yang disingkat MRT menjadi icon terbaru kebanggaan Jakarta.

Sejarah awal mula MRT Jakarta
Pembangunan MRT Jakarta dimulai dengan peletakan batu pertama oleh Bp Jokowi pada tanggal 10 Oktober 2013. Pembangunan konstruksi Fase 1 MRT Jakarta meliputi Koridor 1 yang telah dibangun jalur kereta sepanjang 16 kilometer, yang meliputi 10 kilometer jalur layang dan 6 kilometer jalur bawah tanah.

Tentang proyek MRT Jakarta
Proyek MRT Jakarta dibiayai oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan proposi 49 : 51 dengan dukungan oleh dana pinjaman dan hibah dari Pemerintah Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA). Dukungan pinjaman dari JICA ini diberikan dalam bentuk Soft Loan Agreement (SLA) dengan jangka waktu pinjaman 40 tahun termasuk 10 tahun masa tenggang. Pinjaman tersebut baru akan mulai dilakukan pembayaran pokonya pada tahun 2025 dengan skema cicilan sampai dengan tahun 2055. Komitmen dalam bentuk penyediaan dana pembangunan yang diberikan JICA adalah sebesar ¥125,237,000,000,- , terdiri dari Loan Agreement No. IP-536 sebesar ¥1,869,000,000,-, dan Loan Agreement No. IP-554 sebesar ¥48,150,000,000,- dan Loan Agreement No. IP-571 sebesar ¥75,218,000,000,-

Dana pinjaman JICA yang telah diterima Pemerintah Pusat diteruspinjamkan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Dokumen anggaran (APBN) yang berkaitan dengan pinjaman berada di Kementerian Keuangan dengan nama program dan kegiatan adalah Program Pengelolaan Hibah Negara Kegiatan Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah LN sebagai Hibah kepada Pemerintah Daerah. Executing Agency adalah Direktorat Jenderal Perkeretaapian sedangkan Implementing Agency adalah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. 

Sebagai Implementing Agency Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan mencatat sebagai penerimaan dan pengeluaran dalam APBD dan menempatkan dokumen pelaksanaan anggaran kegiatan pembangunan MRT pada Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) DKI Jakarta dengan nama Program dan Kegiatan Penyertaan Modal (Pembiayaan/Investasi) Pemerintah DKI Jakarta kepada PT MRT Jakarta. Selain itu, dokumen pelaksanaan anggaran pembangunan MRT Jakarta juga ditempatkan pada BAPPEDA DKI Jakarta sebagai belanja langsung dengan nama program Perencanaan Pembangunan Sarana dan Prasarana Kota, dengan nama kegiatan Management Consulting Services for MRT Jakarta. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menunjuk PT MRT Jakarta sebagai sub implementing dari program pembangunan MRT Jakarta. Untuk pengerjaan konstruksi MRT Jakarta dibagi dalam 6 paket kontrak yang dikerjakan oleh kontraktor dalam bentuk konsorsium (joint operation).

Apakah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mampu membayar hutang untuk pembangunan MRT Jakarta ?
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memiliki kemampuan pembayaran kembali atas pinjaman daerah yang diajukan (Debt Service Coverage Ratio-DSCR) dengan nilai yang sangat tinggi yakni 72,64 (untuk loan burden sharing 51%), 63,87 (untuk loan burden sharing 58%), dan 56,99 (untuk loan burden sharing 65%). Nilai DSCR Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk ketiga skema loan burden sharing sangat jauh di atas syarat minimal yakni 2,5 dan berdasarkan PMK Nomor 119/PMK.07/2017, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memiliki indeks Kapasitas Fiskal Daerah (KFD) sebesar 7,87 dengan kategori Sangat Tinggi.

Dengan nilai investasi mencapai Rp16 Triliun, studi kelayakan untuk Proyek MRT Jakarta dilakukan untuk melihat sejauh mana investasi yang ditanamkan ini bisa balik modal atau tidak. Peluang untuk balik modal itu tidak bisa didapatkan dalam beberapa tahun, namun dalam 10 tahun di proyeksikan mendapatkan keuntungan dari penjualan tiket dan pemasangan iklan baik di kereta maupun stasiun.

Kembali ke tujuan awal yang di kejar dari MRT Jakarta ini adalah memberikan manfaat bagi warga seperti menyediakan moda transportasi yang aman, nyaman, terjangkau dan bertaraf internasional; mengurangi konsumsi energi, dan mengurangi kemacetan jalan raya.

Mengenal Fitur-fitur di MRT Jakarta
PT MRT Jakarta sebagai sebuah perusahaan milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang bergerak dalam pengadaan dan operasional transportasi publik massal berbasis rel  berkomitmen untuk memberikan jasa layanan terbaik bagi masyarakat sebagai calon pengguna, baik dari segi prasarana maupun sarana. PT MRT Jakarta menyiapkan pelayanan berstandar internasional yang memberikan rasa aman, nyaman, dan dapat diandalkan. Oleh karena itu, perusahaan menggunakan sejumlah infrastruktur perkeretaapian yang baru untuk diterapkan di Indonesia. 

Kereta MRT Jakarta dibuat oleh Nippon Sharyo memiliki dimensi panjang 20 meter, lebar 2,9 meter, dan tinggi 3,9 meter. Badan kereta terbuat dari bahan baja anti karat (stainless steel) yang didominasi oleh warna biru dan abu-abu metalik dengan berat kosong per-satu kereta mencapai 31 sampai dengan 35 ton.

Kapasitas angkut maksimum 332 orang per-kereta. Untuk Tahap 1, PT MRT Jakarta menyediakan 16 rangkaian kereta (1 rangkaian terdiri dari 6 kereta), sehingga  kapasitas angkut 1 rangkaian mencapai 1.950 orang per-rangkaian. MRT Jakarta memperkirakan akan mengangkut lebih dari 174 ribu per orang setiap harinya dengan headway atau rentang waktu antar kereta 5 menit pada jam sibuk dan sekitar 10 menit di luar jam sibuk.

Sistem perkeretaapian MRT Jakarta terdiri dari 11 pekerjaan utama yang sebagian diantaranya adalah tehnologi baru perkeretaapian yang baru diterapkan di Indonesia 

1. Substation System
Sumber listrik MRT Jakarta diperoleh dari dua gardu induk milik PT PLN (Persero) yaitu Gardu Induk Pondok Indah dan Gardu Induk CSW. Dari dua gardu induk ini, listrik dengan tegangan 150kV diterima oleh Receiving Substation (RSS) lalu diubah menjadi 20kV untuk keperluan operasi RSS, Traction Substation (TSS)/Gardu Traksi, dan Electrical Room (ER) di setiap stasiun/depo. 

2. Overhead Contact System (OCS)
OCS berfungsi untuk menyalurkan listrik 1500 V DC sepanjang jalur MRT Jakarta ke rolling stock/kereta. Terdapat 2 (dua) jenis OCS yang digunakan di MRT Jakarta yaitu Simple Catenary System (SCS) untuk depo dan jalur layang, serta Rigid Suspension System (RISS) untuk area bawah tanah. 

3. Power Distribution System / Sistem Distribusi Daya
PDS berfungsi untuk mendistribusikan tenaga listrik ke stasiun dan depo. Subsistem ini mencakup penyaluran tenaga listrik dengan tegangan 20 kV (keluaran dari RSS) ke setiap stasiun dan depo, lalu diubah menjadi tegangan rendah 380V/220V. Sistem kelistrikan MRT didukung oleh penyulang ganda untuk meningkatkan keandalan sistem.

4. Signaling System / Sistem Persinyalan
MRT Jakarta menggunakan sistem persinyalan Communication-based Train Control (CBTC) dengan menggunakan moving block system. Sistem persinyalan ini bekerja sinergis antarempat bagian yang penting, yaitu Automatic Train Supervisory (ATS) yang berada di Operation Control Center(OCC); Peralatan di lapangan (wayside equipment) baik yang berada di stasiun maupun di sepanjang jalur kereta; Jaringan data komunikasi sebagai penghubung peralatan di lapangan dan di dalam kereta; dan Peralatan di dalam kereta (on-board equipment).

5. Telecommunication System / Sistem Telekomunikasi
Sistem ini menyediakan hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan komunikasi dan informasi yang diperlukan dalam operasional MRT Jakarta. Mulai dari penyediaan infrastruktur jaringan untuk backbone komunikasi data, penyediaan sistem radio dan telepon untuk komunikasi antarpersonel, penyediaan informasi keamanan dan keselamatan melalui kamera pengawas (CCTV System) dan Disaster Prevention System, hingga penyediaan informasi untuk penumpang berupa informasi waktu dan jadwal perjalanan kereta melalui Clock System, Public Address System, dan juga Passenger Information Display System.

6. Power SCADA (Supervisory Control and Data Acquisition)
Fungsi utamanya adalah mengatur dan memonitor RSS, TSS, dan ER.

7. Facility SCADA (Supervisory Control and Data Acquisition)
Berfungsi untuk memonitor perangkat-perangkat fasilitas yang berada di dalam stasiun sehingga dapat mendeteksi kegagalan sistem secara cepat serta mengontrol beberapa kipas/fan di stasiun bawah tanah.

8. Automatic Fare Collection System
Sistem tiket elektronik di MRT Jakarta, dengan menggunakan IC card Ticket yang dapat di beli di loket/Ticket Office Machine atau di mesin tiket otomatis/Ticket Vending Machine yang disediakan di area stasiun. Pengguna layanan MRT dapat masuk ke area berbayar/paid area melalui gerbang penumpang/passanger gate untuk kemudian naik ke kereta MRT. Setelah sampai di stasiun tujuan penumpang dapat melakukan tap out di gerbang keluar/exit gate. 

9. Platform Screen Doors
Adalah partisi pembatas antara area peron penumpang dengan rel kereta. Terdiri dari dua jenis, yaitu full height untuk stasiun bawah tanah dan half height untuk stasiun layang. PSD terdiri dari pintu buka tutup otomatis, fixed door, dan pintu darurat. Buka tutup pintu otomatis terhubung dengan sinyal kereta dan dilengkapi dengan lampu alarm buka tutup.

10. Eskalator & Elevator
Ada 2 tipe eskalator yang digunakan, yaitu eskalator tipe luar ruang/outdoor dan eskalator tipe dalam ruang/indoor. Sedangkan elevator/lift diprioritaskan untuk usia lanjut, penyandang disabilitas, ibu hamil, dan orang tua yang membawa anak dengan kereta dorong.

11. Track Work 
Tipe struktur rel kereta api yang digunakan terdiri dari Ballasted Track untuk area Depo, Direct Fixation Track with Anti-Vibration Sleeper untuk konstruksi layang.

Penggunaan teknologi tersebut diharapkan mampu mewujudkan pelayanan yang diharapkan oleh masyarakat dan dalam perkembangannya, MRT Jakarta akan terus memutakhirkan informasi tentang teknologi yang digunakan.

Oleh : Tommy Cahyono Adi Wijaya
Share This:    Facebook  Twitter
Scroll To Top